Jakarta, CNN Indonesia -- Meningkatnya pengguna Internet di Indonesia menyebabkan pergeseran budaya yang cukup signifikan. Sebagaimana data dari Webershandwick, perusahaan public relations dan pemberi layanan jasa komunikasi, untuk wilayah Indonesia ada sekitar 65 juta pengguna Facebook aktif pada 2013.
Data ini meningkat drastis dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini. Survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggaraan Jaringan Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan bahwa, lebih dari setengah penduduk Indonesia yaitu, 132,7 juta telah terhubung ke Internet. Hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai program seperti, Internet masuk desa yang digagas oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Dengan semakin banyaknya orang yang mengakses Internet, secara tak disadari mempengaruhi tradisi komunikasi yang ada di wilayah tersebut. Jauh sebelum adanya ponsel dan Internet, kita lebih suka berkumpul dan memperbincangkan banyak hal daripada duduk di rumah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, setelah adanya Internet, kita lebih senang berdiam diri di rumah dan berkomunikasi dengan orang-orang nan jauh di sana. Sedangkan, orang di sekitar kita tidak diperdulikan.
Jangankan untuk saling berkomunikasi, untuk bertatap wajah saja hampir tidak mungkin. Dengan begitu, teknologi telah menggeser cara berkomunikasi antarpribadi. Jika kita sedang berkumpul, namun saling asik dengan gadget-nya sendiri apakah komunikasi itu akan berjalan dengan baik? Jelas tidak. Karena lawan bicara kita tidak memperhatikan apa yang kita ucapkan.
Respons dari lawan bicara kita hanya kalimat-kalimat pendek saja seperti, “hah, apa, sebentar, kenapa.” Feedback yang diberikan menandakan bahwa ia tidak mendengarkan dengan baik apa yang kita bincangkan, ia lebih fokus pada gadget dan media sosialnya.
Hal semacam ini, sering disebut dengan “autis”. Bukan autis secara medis namun, autis akibat gaya hidup modern dengan trend dunia gadget.
Mengapa dikatakan "autis"? Apa kaitannya dengan penyakit gangguan saraf yang menjangkit anak-anak itu? Padahal, pengertian autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan saraf yang memengaruhi kemampuan anak dalam berkomunikasi, interaksi sosial, dan perilaku.
ASD tak hanya mencakup autisme, tapi juga melingkupi sindrom Asperger, sindrom Heller, dan gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS).
Pengertian itu mengalami pergeseran makna di era modern ini. Orang yang dikatan autis adalah ia yang terlalu asik dengan dunianya sendiri tanpa memperhatikan sekitarnya. Mereka yang mengalami autis, hanya fokus pada media sosialya atau game yang tersedia di smartphone-nya.
Kesamaan antara autis medis dan autis media adalah sama-sama kesulitan dalam berkomunikasi, sosial dan berperilaku tidak wajar. Biasanya orang yang asik dengan gadget-nya, mereka sering kali tertawa sendiri dan melakukan berbagai ekspresi lain tanpa adanya lawan bicara di sekitar mereka entah di tempat umum, atau di saat sendiri.
Dalam teori komunikasi, hal ini di sebut sebagai dramaturgi. Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya,
The Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama.
Dengan kata lain, orang ini memiliki dua sikap yang berbeda. Misalkan, ia lebih aktif dan eksis di dunia maya namun, pada kenyataannya atau di dunia nyata ia merupakan tipikal orang pendiam dan tidak banyak berkomunikasi dengan orang di sekitarnya.
Untuk mencegah semakin banyaknya orang yang autis akibat perkembangan tekonologi. Cobalah untuk berkomunikasi saat sedang berkumpul, daripada terus memperhatikan media sosial. Biasakan untuk saling menyapa, berdiskusi dan berinteraksi. Usahakan untuk tidak bergantung pada gadget.