Belajar Kebinekaan dari Pelajar di Salatiga dan Singkawang

CNN Indonesia
Selasa, 02 Mei 2017 11:40 WIB
Sejumlah penelitian menunjukkan wawasan kebangsaan di kalangan pelajar kian mengkhawatirkan. Belajar yuk dari para pelajar di Salatiga dan Singkawang.
Ilustrasi (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah penelitian yang digelar pada medio 2015-2016 menunjukkan fakta-fakta yang memprihatinkan mengenai kebhinekaan di sekolah. Tapi, cerita dari siswa SMA di Singkawang dan Salatiga, mungkin bisa membuka mata kita bahwa masih ada harapan untuk merawat kebinekaan.

Begitulah hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang disampaikan salah satu penelitinya, Nur Berlian Venus Ali, di ajang Kongkow Pendidikan bertema Merajut Kebhinekaan Melalui Pendidikan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada pekan lalu.

Puslitjakdikbud melakukan penelitiannya di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, dan Salatiga, Jawa Tengah, baru-baru ini. Mereka melakukan penelitian bermetode kualitatif melalui studi kasus.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Dengan mendeskripsikan fenomena kehidupan kebinekaan, yaitu menemukan praktik terbaik penyelenggaraan pendidikan kebinekaan, mengidentifikasi masalah dan pemecahan masalah,” kata Nur Berlian.

Subyek penelitiannya adalah siswa SMA, guru, dan kepala sekolah dengan latar belakang agama, etnis, dan kebudayaan yang beragam. Lokasi yang dipilih, dianggap sudah mewakili karakteristik daerah yang majemuk, di Jawa dan luar Jawa, dan ada model praktik baik dalam penerapan nilai bineka tunggal ika.

Hasilnya, sebanyak 64 persen lebih siswa di Salatiga, tidak mendapat pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Di Singkawang ada 46,9 persen siswa.

Tapi, pihak sekolah di Salatiga dan Singkawang ternyata tetap memfasilitasi aktualisasi kebudayaan, etnis, dan agama, para siswanya yang beragam itu.

Oleh sebab itu, kebanyakan siswa menganggap tak sulit kok untuk bergaul dengan mereka yang tak sesuku atau seagama. Hanya sedikit saja siswa yang menganggap lebih baik bergaul dengan mereka yang segolongan.

Akan halnya, sikap siswa terhadap perayaan keagamaan dari siswa yang berbeda agama dengannya, mayoritas menganggap itu tak masalah untuk mengucapkan selamat.

Tapi untuk ikut dalam kegiatan keagamaan lain, baik di sekolah atau di lingkungan rumah, sebagian menolak.

Untuk pemilihan ketua OSIS, rupanya mayoritas siswa di Singkawang dan Salatiga, tak soal jika organisasi itu dipimpin oleh siswa dari kelompok agama atau etnis mayoritas.

Akan halnya pemimpin di tengah masyarakat, sebagian besar masing menganggap lebih baik mereka dipimpin oleh pemimpin yang seagama atau sesuku. Meski begitu, banyak juga yang tak setuju.

Nur Berlian mengatakan, sekolah bisa menerapkan pendidikan kebinekaan dengan melakukan pembauran siswa dari berbagai latar belakang dalam berbagai kegiatan intra maupun ekstrakurikuler, organisasi, kepanitiaan, dan sebagainya.

“Dengan demikian, siswa menjadi terbiasa dan saling menerima serta menghargai perbedaan,” katanya.

Sekolah juga diminta memberikan ruang atau wadah untuk mengaktualisasikan agama siswa dengan menyediakan tempat ibadah, acara peringatan hari besar agama, kegiatan ibadah bersama, membaca Alquran, persekutuan doa, retreat, dan sebagainya.

Guru juga diharapkan meningkatkan mutu pembelajaran dan memberikan wawasan kebangsaan dan kebinekaan dalam segala kegiatan belajar mengajarnya.

“Contohnya dengan membiasakan siswa bergaul dengan semua teman tanpa membedakan agama dan etnis, saling menghormati dan menghargai walau beda keyakinan,” kata Nur Berlian. “Selalu berpikir positif terhadap peristiwa yang mengarah pada sikap intoleran, tidak terburu-buru mencurigai.”
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER