Memilah-milah Pesan Positif dari Serangan Informasi Media

CNN Indonesia
Senin, 05 Jun 2017 11:42 WIB
Masih banyak tayangan media yang rendah nilai edukasi dan moralnya. Bagaimana memilah-milahnya supaya bermanfaat?
Ilustrasi anak menonton televisi (Foto: mojzagrebinfo/Pixabay)
Bandung, CNN Indonesia -- Sudah menjadi rahasia umum bahwa faktor utama yang menyebabkan negara seperti Jepang meraih kejayaannya disebabkan oleh tingginya minat baca. Negara tersebut bangkit dari keterpurukan melalui gerakannya yang dinamakan “Restorasi Meiji”.

Restorasi ini menyebabkan perubahan besar-besaran dalam struktur politik dan sosial Jepang. Salah satu penyebab dari restorasi tersebut yakni, Jepang menyadari keterbelakangan bangsanya setelah datangnya Komodor Amerika Serikat Matthew C. Perry yang memaksa Jepang untuk membuka pelabuhan-pelabuhan untuk kapal-kapal asing.

Komodor Perry datang ke Jepang menggunakan kapal besar dengan teknologi yang jauh lebih canggih dibandingkan milik Jepang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak restorasi Meiji dikibarkan, pemerintah menitikberatkan pada pentingnya pendidikan. Dalam hal ini, pemerintah sangat serius dalam melakukan pembenahan demi kemajuan. Pemerintah Jepang melaksanakan kebijakannya dengan giat untuk menerjemahkan dan menerbitkan berbagai buku, baik dalam bidang sastra, pengetahuan maupun filsafat.

Para pemuda banyak yang dikirimkan ke luar negeri untuk menimba ilmu sesuai dengan bidang yang ditekuni. Setelah itu, para pemuda mengabdikan dirinya untuk bangsa Jepang. Hingga saat ini, bangsa Jepang terkenal memiliki minat baca yang tinggi, ulet dan pekerja keras. Tidak heran, bila perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin tinggi.

Minat baca bisa diartikan sebagai kecenderungan atau ketertarikan dalam mengonsumsi atau membaca suatu informasi atau pengetahuan baik dalam bentuk konvensional (buku) maupun elektronik. Tujuan utamanya, untuk memperoleh pengetahuan dan mengasah logika berpikir.

Maka sangat terlihat betapa pentingnya kegiatan membaca mulai dari ranah individu hingga mencakup suatu bangsa. Jepang telah membuktikannya.

Kontradiktif memang bila kita melihat pada realitas bangsa kita, bangsa Indonesia. Hal ini terlihat melalui survei yang dilakukan oleh UNESCO tahun 2012 yang menyebutkan bahwa minat baca Indonesia berada dalam ranking terbawah di ASEAN. Survei tersebut pun menunjukkan indeks membaca bangsa Indonesia yang hanya sebesar 0,001%. Dengan begitu, berdasarkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta jiwa, hanya 250.000 jiwa yang memiliki minat membaca.

Lantas apa hubungannya minat baca dengan literasi media yang dimaksud dalam judul artikel ini? Sebelumnya kita perlu mengetahui definisi literasi media.

Menurut McCannon literasi media adalah sebagai kemampuan secara efektif dan secara efesien memahami dan menggunakan komunikasi massa (Strasburger & Wilson, 2002). Secara sederhana, literasi media berfokus pada kemampuan dalam menganalisis pesan yang disampaikan oleh media dalam pemenuhan hak akan informasi.

Minat baca menjadi salah satu penilaian dalam pengukuran tingkat literasi media di dalam suatu negara. Pada 2016 ini Central Connecticut University dalam data World’s Most Literate Nations, memperlihatkan peringkat literasi media Indonesia berada di peringkat terbawah kedua dari 61 negara yang diteliti.

Indonesia hanya lebih baik dari Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika. Fakta ini didasarkan pada studi deskriptif dengan menguji sejumlah aspek. Antara lain, mencakup lima kategori, yaitu, perpustakaan, koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Fakta tersebut diperkuat juga oleh survei tiga tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai minat membaca dan menonton anak-anak Indonesia, yang terakhir kali dilakukan pada 2012. Dikatakan, hanya 17,66% anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca. Sementara, yang memiliki minat menonton mencapai 91,67%.

Minat menonton yang tinggi tidak selaras dengan sebagian besar tayangan program yang ada di Indonesia. Masih banyak tayangan yang rendah akan nilai-nilai edukasi dan moral. Tayangan sinetron yang menjamur, sebagian besar justru menampilkan jalan cerita yang jauh dari kata mendidik. Dari segi kualitas pun masih rendah. Namun, justru tayangan sinetron seperti itu digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama kalangan menengah dan anak-anak.

Penulis sama sekali tidak menyalahkan program sinetron, akan tetapi kualitas dari sinetron tersebut yang perlu diperhatikan. Genre cerita yang dihadirkan pun tidak segar dan hanya menyentuh hal-hal biasa (bahkan terkesan memaksakan), belum terlihat ada yang menyajikan jalan cerita yang memotivasi penonton.

Selain jalan cerita, dialog para pemain pu menjadi perhatian, seringkali dialog yang ditampilkan memberikan contoh yang tidak baik, bahkan terkesan konyol dan tidak masuk akal. Hal ini melatih logika berpikir yang buruk bagi penonton, terutama usia anak-anak. Seharusnya tayangan sinetron ikut berkontribusi juga dalam memenuhi fungsi komunikasi massa, edukasi, tidak hanya berfokus pada hiburan semata. Akan percuma ketika sebuah tayangan menghibur namun membodohi sekaligus.

Selain tayangan hiburan berupa sinetron ataupun musik program, tayangan berupa program berita pun menjadi sorotan, tidak hanya pemberitaan di TV tetapi juga pada cetak dan dalam jaringan (online). Pemahaman masyarakat dalam menerima dan menganalisis informasi dari media massa dinilai masih sangat rendah. Padahal, media tidak sesederhana apa yang terlihat di permukaan saja. Begitu banyak faktor pertimbangan dan tujuan di balik layar sebuah media.

Sayangnya, di Indonesia sedikit sekali orang yang memahami hal tersebut. Hanya kalangan intelektual dan kalangan yang memang tertarik dengan analisis media yang memahaminya. Padahal menurut saya, literasi media bisa dikatakan bentuk representasi dari mental dan intelektual suatu bangsa.

Suatu bangsa bisa bodoh atau pintar (pengaruh logika berpikir) dikaji melalui pemahaman terhadap serangan informasi media. Keterpurukan ranking Indonesia tersebut berdasarkan aspek penilaian yang ada, menunjukkan masih sangat rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Kesenjangan antara pendidikan di kota dan daerah terlihat sangat jauh, mulai dari fasilitas, pengajar hingga kurikulum.

Ada hal yang harus dicermati dalam hal ini adalah pendidikan di Indonesia. Integritas pendidikan di negara ini sudah bobrok. Muda-mudi bangsa terjangkit pikiran yang pragmatis dan apatis. Di sekolah-sekolah hanya ditanamkan kepatuhan bukan diskusi atau pertukaran pikiran. Pelajar Indonesia dibebani oleh ilmu hafalan tanpa memahami hakikat dari ilmu yang mereka pelajari.

Maka sudah seharusnya pemerintah bergerak dengan lebih tepat. Masalah pendidikan dan literasi media sifatnya sangat vital dan penting. Sebagai contoh, negara Inggris yang memiliki literasi media yang baik, memiliki sistem yang memang mendukungnya. Pemerintah Inggris sudah menerapkan pendidikan literasi media sejak bangku sekolah menengah. Selain itu, ada pula segelintir media seperti The Guardian yang ikut berkontribusi dengan melakukan kritisi pada media dan melakukan pelatihan-pelatihan terkait media.

Usaha pembenahan literasi media di ranah intelektual mulai dilakukan. Melalui BEM Fikom Universitas Padjadjaran telah diinisiasi pendidikan literasi media bertajuk “Sekolah Media”. Ini merupakan program kerja yang bertujuan untuk meningkatkan literasi media dengan sasaran siswa SMA di Jatinangor dan sekitarnya. Kurikulum materi yang diberikan yakni seputar pengantar ilmu jurnalistik, Ekonomi Politik, Etika hingga Hukum Pers yang disederhanakan untuk pelajar tingkat SMA. Hal ini bertujuan untuk membantu agar para pelajar melek akan media.

Sekolah media menjadi salah satu usaha pembenahan literasi media yang dilakukan oleh mahasiswa. Hal ini menjadi bagian dari penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni, pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengenbangan, serta pengabdian kepada masyarakat.

Sebuah usaha memang patut diapresiasi. “Sekolah Media” sendiri akan mulai aktif pada tahun ajaran baru ini. Sekolah yang dituju yakni, SMA Tanjungsari, SMA Al-Falah dan SMA Jatinangor. Indikator yang diharapkan tercapai yakni mendapatkan, membuat dan menganalisis komunikasi massa/media. Sehingga diharapkan para pelajar dapat lebih kritis dalam memahami media.

Pembenahan literasi media memang sudah menjadi tugas bagi berbagai pihak, terutama pemerintah, kalangan intelektual, dan media itu sendiri. Perlu terus ditegaskan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang melek ilmu pengetahuan. Dalam hal ini media memiliki pengaruh yang sangat kuat dan besar dalam menyampaikan urgensi pesan tersebut. Melek media maka melek ilmu pengetahuan. Melek ilmu pengetahuan maka kemajuan bangsa dapat diraih.

Hilda Julaika
Mahasiswa Prodi Ilmu Jurnalistik Fikom Unpad
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER