Jakarta, CNN Indonesia -- Dewasa ini, perkembangan teknologi dan informasi semakin pesat. Salah satu penyebab perkembangan itu karena didukung dengan hadirnya internet. Internet (inter network), pertama kali hadir pada 1969 dari sebuah proyek milik Kementerian Pertahanan Amerika Serikat bernama DARPA (Department of Defense Advanced Research Projects Agency) yang mengeluarkan proyeknya berupa ARPANET.
ARPANET sendiri merupakan sebuah jaringan yang dibuat agar para peneliti dapat mengakses berbagai sumber daya seperti komputer dengan pangkalan data yang besar. Pada awal 1980-an, ARPANET terbagi dua menjadi ARPANET dan Milnet. Kedua program ini masih sama-sama terhubung, sehingga komunikasi dan saling mengakses data masih tetap terjadi.
Pada 1990, jaringan world wide web (WWW) mulai dikembangkan di laboratorium fisika di Swis (CERN) dengan mengacu kepada proposal milik Tim Berners-Lee. Barulah pada 1992, browser pertama lahir dengan nama Viola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penggunaan internet secara komersial baru terjadi pada 1994, dan setahun berikutnya, Compuserve, America Online, dan Prodigy mulai memberikan layanan internet bagi masyarakat umum. Keberadaan internet menjadi sebuah terobosan penting yang dapat merubah seluruh lanskap dunia, misalnya lanskap politik, lanskap sosial, lanskap ekonomi, dan lanskap budaya. Perubahan ini akan berpengaruh ke lapisan-lapisan di bawahnya, sehingga pada akhirnya seluruh dunia akan merasakan perubahan itu.
Konsekuensi nyata yang dihadapi masyarakat dunia, khususnya Indonesia, dalam menghadapi perubahan itu adalah dengan munculnya “Dunia Sebelah”. Dunia ini merupakan dunia yang tercipta akibat dari adanya aktivitas internet yang terjadi.
Istilah “Dunia Sebelah” ini mengacu kepada frasa dunia maya, atau dalam bahasa Inggris disebut cyberspace. Sama halnya dengan dunia nyata, di dunia maya ini, semua hal dapat dilakukan. Mengakses berbagai macam data, mengirim data baik berupa gambar, video, tulisan, dan suara, serta melakukan aktivitas lainnya yang dapat meringankan pekerjaan manusia, tanpa perlu melakukan kegiatan dengan proses yang panjang.
Terjadinya overload information atau ledakan informasi juga menjadi suatu hal yang lazim terjadi akibat dari penggunaan internet. Masyarakat penggunanya dengan mudah mencari, dan membagikan informasi tersebut. Sayangnya, tidak semua informasi yang ada dan dibagikan itu merupakan informasi yang valid akan kebeneran serta sumbernya. Hal inilah yang menjadi salah satu ancaman bom waktu bagi seluruh manusia. Selain itu, melalui internet, manusia juga diantarkan menuju era paperless culture, di mana semua kegiatan telah dikemas dan berbasis digital.
Keberadaan dunia maya ini akan berpengaruh besar, salah satunya kepada para sejarawan. Dunia maya yang dipicu oleh internet ini layaknya sebuah mata uang yang memiliki gambar pada kedua sisinya. Charles Seignobos, sejarawan Perancis pernah berkata, “No document, no history”, yang artinya tidak ada dokumen, maka tidak ada sejarah. Tentu dokumen yang dimaksud saat itu oleh Charles Seignobos adalah dokumen tertulis di atas media kertas. Maka jika kita dapat terjemahkan perkataan sejarawan Perancis itu, berarti jika tidak ada dokumen tertulis dalam media kertas, maka tidak akan ada sejarah. Permasalahan pun muncul, apakah di era kemajuan teknologi saat ini, sejarah harus selalu ditulis berdasarkan dokumen tertulis di atas media kertas?
Saat ini, segala macam bentuk dokumen akan lebih sering ditemukan dalam bentuk digital. Digitalisasi ini akan terus merambah berbagai bidang kehidupan, sehingga akhirnya kita yang hidup di dunia nyata akan benar-benar tinggal di “Dunia Sebelah”.
Pernahkah kita mendengar Paypal dan Alipay? Paypal dan Alipay merupakan contoh nyata bentuk digitalisasi dalam bidang ekonomi. Pembayaran yang dilakukan selama ini masih banyak menggunakan uang tunai, namun kehadiran dua perusahaan ini bertujuan untuk mendigitalisasi proses pembayaran. Sehingga nanti kita hanya perlu membayar sesuatu yang kita beli dengan kartu ataupun aplikasi yang telah diisi dengan saldo uang kita.
Contoh lainnya adalah digitalisasi data di perpustakaan. Banyak perpustakaan-perpustakaan daerah maupun universitas yang sudah menerapkan hal ini. Buku-buku berbasis digital mulai disediakan secara daring, sehingga mahasiswa dapat dengan mudah untuk mengaksesnya. Segala proses ini menandakan bahwa kita sebenarnya mulai terselimuti dengan “Dunia Sebelah”.
Akhirnya, apa yang dapat dilakukan oleh sejarawan dalam menyikapi “Dunia Sebelah”? Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah, sejarawan harus menyesuaikan diri dan memahami apa yang terjadi dengan dunia kita dan “Dunia Sebelah”.
Sejarah adalah ilmu yang akrab dengan perubahan teknologi, maka sudah saatnya sejarawan mulai melirik dan memanfaatkan isi dari “Dunia Sebelah” itu. Dokumen yang menjadi sumber sejarah saat ini sudah banyak tersedia dalam bentuk digital, bukan lagi dalam bentuk kertas, sehingga sejarah juga harus menyesuaikan metodenya agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Sejarawan harus mempunyai imajinasi yang tidak terbatas, namun tetap berbasis data yang akurat. Era baru telah ada di depan mata, maka jadikanlah sejarah sebagai ilmu yang menarik, dengan tetap menghadirkan rekonstruksi masa lalu yang bertujuan edukatif, rekreatif, dan inspiratif.