Jakarta, CNN Indonesia -- Pada enam bulan lalu saya membaca sebuah buku berjudul Sekolah itu Candu, yang ditulis oleh Roem Topatimasang. Saya lantas mengunggah foto buku tersebut di salah satu media sosial disertai caption: “Bener gak (kalau sekolah itu candu)?”
Saya ingin tahu apakah teman-teman saya akan menjawab ya atau tidak. Dari beberapa komentar yang ditulis, satu jawaban dari seorang teman membuat pikiran saya terusik. Ia menjawab, “Learning is.”
Pesan yang tersirat di balik komentar itu adalah bukan sekolah yang digandrungi. Mengapa? Apakah karena guru? Mungkinkah guru membuat sekolah dianggap tidak candu, membosankan, menakutkan, dan sejumlah kata sifat lain yang kerap digunakan untuk menggambarkan sekolah?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum saya kuliah di Universitas Sampoerna dan menjadi calon guru, saya sudah menjadi murid selama 12 tahun. Selama itu saya merasa sekolah dan guru telah membuat murid-murid sakit kepala memikirkan tugas dan tetek-bengek urusan akademik.
Kini, setelah menjadi mahasiswa dan mendapat kesempatan untuk mengalami sekolah dari kacamata guru melalui School Experience Program (SEP), saya merasa institusi pendidikan dan tenaga-tenaga pengajar yang saya temui memang tetap membuat saya sakit kepala. Tapi mereka memberi saya alasan untuk menjadi pendidik yang lebih baik.
Satu hal yang saya catat dari pengalaman saya menjadi murid dan guru adalah bahwasanya mendengarkan itu bukan hanya menggunakan telinga, tetapi juga mata, otak, dan hati, terutama saat murid-murid mengalami kesulitan.
Ketika guru mengajar, hukum gerak Newton berlaku: ada aksi, ada reaksi.
Di satu kelas yang saya observasi saat SEP, saya mendengar penjelasan guru yang membahas kunci jawaban soal. Ada seorang murid yang terlihat tidak paham akan soal tersebut.
Dia ragu untuk menulis, melihat ke kiri dan kanan untuk meminta bantuan teman, namun mengurungkan niatnya. Ketika saya berkeliling, beberapa murid tidak menjawab soal yang sudah dibahas. Mereka berkata bahwa mereka tidak mengerti dan menggelengkan kepala ketika saya menyuruh mereka bertanya lagi kepada guru. Sang guru sendiri malah terlalu sibuk membaca dari buku paket, tanpa memperhatikan reaksi anak-anak didiknya.
Waktu saya duduk di kelas 12, seorang guru memperlihatkan di depan kelas hasil ulangan teman saya yang mendapat nilai 0.
Saat itu saya belum memiliki pengetahuan apapun mengenai menjadi seorang guru yang baik. Tapi saya yakin mempermalukan seorang murid bukan cara yang benar dan manusiawi.
Jika murid tidak mengerti penjelasan yang diberikan, bukankah di sanalah seorang guru berperan? Oleh sebab itu, saya merasa bahwa mendengarkan kesulitan dan keluh kesah murid juga memerlukan hati nurani, bukan hanya telinga yang menangkap kata-kata secara eksplisit.
Kemampuan mendengarkan selain menggunakan telinga ini penting untuk guru-guru di abad 21 karena ketika guru bisa memahami letak kesulitan murid, mereka akan memiliki gambaran untuk mengatasinya.
Setiap individu punya kebutuhan yang berbeda dalam belajar dan salah satu pengembangan profesional yang digiatkan dalam pengajaran abad 21 adalah untuk membuat guru mampu mewujudkan lingkungan yang mendukung pembedaan pembelajaran (differentiated teaching).
Sebagai calon pendidik, saya beruntung mendapat kesempatan untuk mengajar di kelas-kelas yang sebenarnya lewat SEP. Saya bisa dengan jujur mengatakan bahwa apa yang saya lakukan di kelas adalah refleksi dari apa yang saya terima dari dosen-dosen Fakultas Pendidikan Universitas Sampoerna.
Saya menerapkan pembedaan pembelajaran, pendekatan yang berbeda kepada siswa, mendengarkan kebutuhan yang beragam, dan berusaha sebaik mungkin memfasilitasinya. Saya menggali lebih dalam informasi mengenai murid bukan bertujuan untuk ‘kepo’, tetapi demi meningkatkan kualitas pengajaran dan pemahaman murid.
Menjadi guru di abad 21 tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan berceramah di dalam kelas. Kalau hanya cuap-cuap, ayam juga bisa. Untungnya, bukan ini yang saya alami di kampus selama tiga tahun terakhir. Kalau sekarang harus menjawab pertanyaan saya sendiri sebelumnya: “Bener gak (sekolah itu candu)?”, saya bisa menjawab ya dengan cepat!
(ded/ded)