Jakarta, CNN Indonesia -- Profesi guru sangat penting, sebab tugasnya mencerdaskan anak bangsa. Tapi benarkah profesi ini kurang menarik di mata anak muda? Menyoal profesi guru pada saat peringatan Hari Guru Nasional 2017.
“Faktanya, di Indonesia, menurut penelitian, dari 47 persen anak muda yang ingin menjadi kaum profesional, hanya 11 persen yang ingin menjadi guru,” kata Nisa Felicia, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Sampoerna University, di Jakarta, Jumat (24/11).
Ini terkait dengan citra guru yang umum. Sebagian guru dianggap cara mengajarnya masih terkesan ketinggalan zaman. Belum lagi guru yang dijuluki
killer, tidak menyenangkan, sehingga minat terhadap profesi guru pun menurun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nisa membandingkan dengan Korea Selatan, di mana profesi guru sangat dihormati dan disegani.
Masalah lain, peminat profesi keguruan, kata Nisa, masih cenderung memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak memilih profesi guru. Ini menjadi tantangan institusi pendidikan tinggi, bagaimana merekrut siswa SMA berkualitas untuk dididik menjadi guru.
Mendapatkan kandidat terbaik dan mengembangkan mereka menjadi guru yang terbaik, adalah kunci untuk membedakan mana sistem pendidikan yang baik dan tidak baik.
“Kritik pendidikan guru di Indonesia adalah, calon guru itu tidak banyak dilatih menjadi guru. Paling 35-40 hari kerja praktek mengajar di kelas sebenarnya selama 4 tahun kuliah,” tutur Nisa lagi. Itulah mengapa, Sampoerna University menerapkan total 110 hari kerja dengan program School Experience Program.
Melalui program ini, mahasiswa menjalani proses belajar dan praktek di kelas sebenarnya. Mulai dari pengamat, kemudian menjadi asisten guru, lalu akhirnya berkesempatan mengajar langsung.
“Guru adalah nomor satu yang menjadi faktor penting dalam pencapaian siswa,” tutur Mustafa Guvercin, Direktur Sampoerna Academy.
Karena itu, kata Mustafa, guru harus memberikan pembelajaran berbasis project untuk mencapai keahlian yang diperlukan pada abad ke-21, yaitu berpikir kritis, kreatif mencari solusi, dan kolaborasi. Iklim belajar harus berpusat pada siswa, bukan pada guru.
Bagaimana dengan teknologi? “Kalau sekadar untuk menggantikan papan tulis, maka sebaiknya tak perlu,” tutur Nisa. Teknologi seharusnya dipakai untuk melakukan elaborasi dan kolaborasi sistem belajar dan mengajar di kelas.
(ded/ded)