Jakarta, CNN Indonesia -- Pada awal November 2017, dunia perpajakan dikagetkan dengan munculnya Paradise Papers, yaitu bocornya dokumen keuangan yang di dalamnya terdapat data-data mengenai orang kaya di dunia yang menanamkan investasinya di luar negeri untuk mendapatkan pengenaan pajak rendah atau tidak sama sekali.
Bocornya data ini berasal dari perusahaan penyedia layanan hukum offshore yaitu Appleby yang diungkap oleh Gerard Ryle dari International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Perusahaan yang bermarkas di Bermuda ini mempunyai andil yang besar dalam penghindaran pajak.
Tugasnya adalah membentuk perusahaan di luar negeri, perjanjian-perjanjian rahasia, menyediakan sistem yang membantu investasi-investasi tersebut agar dikenakan pajak dengan rendah atau tidak sama sekali secara legal. Di dalam data tersebut terdapat 13,4 juta file yang memuat data-data keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut situs The Guardian beberapa data yang terungkap yaitu penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dan tokoh-tokoh dunia bahkan tokoh lokal Indonesia.
Praktik penghindaran pajak seperti ini dapat mengancam penerimaan pajak negara yang menerapkan tarif pajak lebih tinggi dan keadilan terhadap pembayaran pajak dipertanyakan.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak? Melihat kondisi penerimaan negara per November sebesar 74 persen dari target yang mengharuskan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memutar otak agar dapat mencapai target pajak tahun 2017, momen kemunculan Paradise Papers ini merupakan momen yang pas untuk memaksimalkan potensi perpajakan yang selama ini belum tersentuh.
Didukung dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2017 yaitu tentang tindak lanjut pasca Tax Amnesty (TA). Di dalam aturan tersebut kategori subjek pajak dibagi menjadi dua: pertama, Wajib Pajak (WP) peserta TA yaitu tidak jadi repatriasi atau tidak menginvestasikan selama 3 tahun, mengalihkan harta ke luar NKRI sebelum 3 tahun, ditemukan harta lain yang tidak diungkapkan dalam SPH. Kedua, yaitu WP non-TA yaitu jika ditemukan harta yang diperoleh sejak 1 Januari 1983 sampai 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam SPT PPh.
Atas harta yang kurang/tidak dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) dianggap sebagai penghasilan, dikenakan tarif 25 persen untuk WP Badan, 30 persen untuk WP Orang Pribadi, dan 12,5 persen untuk WP tertentu ditambah dengan sanksi 200 persen untuk WP yang mengikuti TA, dan 2 persen per bulan maksimal 24 bulan untuk WP non-TA.
Dengan ini DJP dapat memanfaatkan data Paradise Paper, merekonsiliasi data-data tersebut apakah sudah dilaporkan dalam SPH/SPT WP. Jika ada gap, DJP dapat memperhitungkannya sebagai penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final ditambah dengan sanksi kenaikan atau bunga.
Sebelum dijalankannya Automatic Exchange of information (Aeoi) adanya Paradise Papers ini menjadi ajang pemanasan untuk menerapkan keadilan di bidang perpajakan. Jangan sampai Paradise Papers hanya mengambang sia-sia seperti sebelumnya, Panama Papers, yang seakan-akan beritanya hilang bak ditelan Bumi.
Keadilan harus ditegakkan semaksimal mungkin, bagi WP yang sudah mengikuti TA dan melaporkan pajaknya dengan benar harus diapresiasi. Sedangkan untuk WP yang mengikuti TA tapi tidak melaporkan hartanya dengan benar atau tidak mengikuti TA padahal masih ada harta yang belum dilaporkan harus diproses sesuai dengan peraturan yang berlaku.
DJP harus tegas tanpa memandang bulu, baik pejabat atau bukan, semuanya harus diproses. Hal ini menunjukan pada masyarakat bahwa DJP tidak main-main dalam menyelenggarakan TA sehingga dapat meningkatkan kepercayaan WP terhadap DJP.
Hal yang menjadi kontroversi adalah, pada minggu ke-4 bulan November 2017, Menteri Keuangan menerbitkan revisi PMK Nomor 118/PMK.03/2016 yang isinya adalah memberikan kesempatan bagi WP yang memiliki harta yang belum dilaporkan pada SPT Tahunan 2015 maupun Surat Pernyataan Harta Amnesti Pajak secara sukarela.
WP dapat mengungkapkan sendiri data-data yang belum dilaporkan dan membayar PPh final sesuai tarif yang ada di PP Nomor 36 Tahun 2017 tanpa dikenakan sanksi sesuai pasal 18 Undang-undang Pengampunan Pajak sepanjang Ditjen Pajak belum menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP2).
Dengan ini, menjadi kesempatan yang baik bagi WP yang tercatut namanya pada Paradise Papers dan WP lainnya yang belum/tidak melaporkan hartanya dengan benar untuk memanfaatkan fasilitas yang diberikan DJP.
Menurut penulis, peraturan ini diterbitkan untuk mengejar penerimaan pajak yang sampai hari ini masih jauh dari target. Di sisi lain, hal ini dapat mencederai kepercayaan WP yang sudah patuh dalam mengungkapkan hartanya dengan benar. WP yang patuh bisa saja mempertanyakan dari sisi keadilan yang diterapkan oleh DJP. Selain itu, hal tersebut dapat membangun opini masyarakat bahwa DJP kurang tegas dalam menerapkan Undang-undang pengampunan pajak. Sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap DJP.
Menurut Praktisi Perpajakan, Yustinus Prastowo, yang dilansir dalam status Facebook beliau, “Peristiwa Paradise Papers ini menjadi pelajaran yang berharga bagi DJP untuk segera memperkuat Undang-undang perpajakan dan aturan teknis lainnya, memperbaiki administrasi yang berbasis teknologi informasi, meningkatkan kerjasama, dan kompetensi dan integritas aparatur, mendukung praktik penghindaran pajak, mendukung pemungutan pajak yang efektif, dan mendorong kepatuhan yang tinggi.”
Dengan memperkuat hal tersebut tidak menutup kemungkinan penerimaan pajak tahun 2017 dapat dicapai dengan maksimal meskipun sulit untuk mencapai 100 persen dari target penerimaan. Selain itu, dapat menjadi pondasi yang kuat untuk mengarungi tahun pajak yang baru ke depannya.
Muchammad Cholid Muttaqin
Mahasiswa D-IV Akuntansi Politeknik Keuangan Negara STAN
(ded/ded)