Jakarta, CNN Indonesia -- Benalu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah tumbuhan yang menumpang pada tanaman lain dan mengisap makanan dari tanaman yang ditumpanginya. Seperti warganet juga. Warganet yang bijak, banyak, tapi yang jahat, selalu beranak-pinak.
Kenapa benalu. Karena mereka merayap-rayap di internet hanya demi citra dan kepuasan batin yang tidak bisa di dapat dari dunia nyata. Menempel di kolom komentar, meretas akun dan menggalakkan fitnah virtual untuk mengisap seluruh kepercayaan diri seseorang, dan menyisakan cangkangnya kopong sama sekali.
Secara pengecut bersembunyi di balik username yang kebanyakan dibuat menyimpang dari data pribadi. Mencemooh seenak dengkul. Berpikiran sempit sehingga abai terhadap dampak lebih lanjut si penerima caci.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena ini banyak diteliti para pakar informatika dewasa kini. Cyber bullying namanya. Fenomena sosial yang menguraikan bagaimana kolom komentar pada sebuah akun sosial media dapat membunuh seseorang. Tentu tidak semua, tapi data statistiknya merangkak naik macam histeria di tempat wisata.
Pesatnya tumbuh kembang dunia digital, membuat semua ranah nyaris mengalami digitalisasi. Perdagangan, pekerjaan, pertemanan, hingga hubungan percintaan. Semuanya serba maya dan virtual.
Ada jual beli online, rapat online, game online, sampai biro jodoh online. Teknologi bergabung dengan globalisasi untuk meruntuhkan benteng ruang dan waktu. Pupus sudah segala halang rintang.
Pertanyaan besar yang muncul dari sana adalah, sudah siapkah manusia menerima segala kemudahan itu? Atau, kalau pertanyaan demikian terlalu luas, mari kita tarik lebih dekat. Siapkah masyarakat Indonesia beradaptasi?
Sementara pada kenyataan yang tampak kentara di sekeliling kita, masyarakat terseok menerima digitalisasi serentak ini. Realitanya, kemudahan informasi dan komunikasi menjadi bumerang yang siap kapan saja berbalik menyerang diri sendiri.
Dalam suatu kesempatan, Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital atau Siberkreasi Dedy Permadi mengatakan, tumbuhnya pengguna internet di Indonesia, tidak diimbangi pendidikan tentang cara menggunakannya atau pemahaman literasi digitalnya masih dipandang minim. Oleh karena itu, hal ini rentan menyebabkan kondisi siber di Indonesia tak sehat.
Argumen ini didukung data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), lebih dari 800 ribu situs web di Indonesia terindikasi sebagai penyebar berita palsu, ujaran kebencian, konten berbau SARA, pornografi, hoaks, narkoba, terorisme, dan masih banyak lagi. Bahkan, adanya konten tersebut, rentan menyebabkan cyber bullying.
Betapa menyeramkannya ‘maya’, sampai kasus perundungan (bullying) menembus angka yang sangat besar. Bahkan beberapa di antaranya berujung kematian. Misalnya, korban cyber bullying Indonesia melakukan tindak bunuh diri akibat tekanan yang diterimanya melalui internet.
Mendiang Yoga Cahyadi (36), yang melakukan tindakan nekat menabrakkan dirinya pada kereta api di Yogyakarta, Sabtu, 26 Mei 2013 silam, diduga karena banjir hujatan akibat gagalnya acara musik Locstock Fest 2, dimana dialah yang menjadi Event Organizer (EO)-nya (Liputan 6.com).
Garis bawahi kata-kata berikut, kematian Yoga hanya setitik tinta dari lautan kasus perundungan siber di dunia, yang tentunya belum banyak tersoroti media.
Selama ini, pemerintah sibuk mengurusi politik dan segala drama di dalamnya. Sehingga pada hal-hal mendasar macam pendidikan karakter, atau sekurang-kurangnya literasi media, para petinggi ‘seolah’ kurang peduli. Padahal bangsa yang kini terkotak-kotak atas nama ras dan agama, sebagian besar disebabkan oleh bumerang media sosial. Belatinya terhunus melalui hoax dan ujaran kebencian. Berlandaskan alasan tadi, membenahi hukum online jangan lagi dianggap sebagai anjuran, namun suatu kewajiban.
Meski, beberapa pihak berpengaruh, sebut saja para penggiat sosial dan awak literasi media, telah menempuh banyak jalan untuk mengatasi soal perundungan siber. Atau, ada juga Instagram, pihak sosial media yang menunaikan tanggung jawabnya dengan melakukan kampanye #KomenBaik. Dijelaskan oleh Director of Community Instagram, Amanda Kelso, tool yang hadir di Instagram Live itu adalah fitur yang memperkenankan pengguna untuk mengontrol komentar negatif pada unggahannya, mulai dari semua pengguna hingga grup tertentu.
Jika gerakan literasi sudah menjamur, atau pendidikan berkarakter semakin mashur, tapi pemberantasan kejahatan online tetap tak manjur, tak ada pilihan selain memperketat perundang-undangan virtual.
Komentar jahat yang yang sering ditemui, yang merugikan orang lain, dan termasuk cyber crime harus berakhir di bui. Sekurang-kurangnya, si pelanggar yang bersangkutan seyogianya dikenai sanksi denda.
Barangkali mesti ada satu-dua kasus yang sampai pengadilan supaya timbul efek jera. Bukan cuma sistem lapor per individu dalam fitur pengaturan medsos, misalnya, tapi peraturan bermedia sosial harus juga diperketat, pun begitu pengawasannya. Kalau perlu, pekerjakan orang-orang kompeten sebagai polisi dunia maya, yang mengatur lajunya informasi bagi warganet di dalam sana.
Biasanya, kebijakan macam ini selalu berbenturan dengan hak asasi manusia. Sebutlah kebebasan berpendapat yang digadang-gadang sebagai hadiah reformasi, tak pernah absen menjadi tameng si kontra. Tak apa. Satu dua trial-error semestinya mengokohkan pondasi putusan ini.
Perlu diingat kembali, apa-apa yang dibubuhi kata ‘terlalu’ adalah sesuatu yang buruk, termasuk ‘terlalu bebas’. Kebebasan bersuara adalah pedang bermata dua, dan polisi dunia maya hadir untuk memejamkan salah-satunya.
(ded/ded)