Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Partai Golkar sekaligus Ketua DPR, Setya Novanto, kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi KTP elektronik (e-KTP) dan kini ditahan. Bagaimana kasus ini mempengaruhi elektabilitas Partai Golkar, dipandang dari sudut pandang ilmu komunikasi? Bagaimana pula cara Setnov berkilah ditakar dari ilmu yang sama?
Walter Fisher dalam buku
Introducing Communication Theory (2010) menyakini bahwa manusia adalah pecerita dan pertimbangan akan nilai, emosi, serta estetika menjadi keyakinan manusia dalam berperilaku. Pandangan ini kemudian dikenal dengan istilah
The Narrative Paradigm. Dapat ditarik kesimpulan, bahwa logika seseorang terhadap sebuah isu sangat dipengaruhi oleh referensi atas cerita yang diperolehnya.
Dalam kaitan kasus dugaan korupsi ini, diyakini itu akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai Golkar. Elektabilitas Partai Golkar dianggap mulai goyah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan konstelasi hasil Pemilu 2014, partai bergambar pohon beringin itu mampu menduduki posisi terkuat kedua setelah PDIP. Kala itu PDIP berhasil meraih 18,95 persen suara, Partai Golkar 14,75 persen suara, dan Partai Gerindra 11,81 persen suara.
Tapi berdarkan hasil Survei Nasional Poltracking Indonesia bertajuk "Evaluasi Pemerintahan Jokowi-JK, Meneropong Peta Elektoral 2019", jumlah suara yang didapatkan oleh Partai Golkar hanya mampu menempatkannya di posisi ketiga, di bawah Partai Gerindra.
PDIP masih mendominasi suara dengan perolehan sebesar 23,4 persen. Posisi kedua ditempati oleh Partai Gerindra dengan 13,6 persen suara. Sedangkan, Partai Golkar harus rela berada di posisi ketiga dengan 10,9 persen suara. Survei tersebut dilakukan pada 8-15 November 2017 terhadap 2.400 responden di 34 provinsi Indonesia (cnnindonesia.com, 27/11).
Dibedah dengan
The Narrative Paradigm, ada kemungkinan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Partai Golkar terpengaruh oleh kasus dugaan korupsi tersebut. Ketika seseorang mendengar cerita tentang kasus korupsi yang menjerat Setnov, besar kemungkinan hal itu turut mempengaruhi logika berfikir dan membuat tingkat kepercayaan terhadap Partai Golkar menurun.
Tentu, Partai Golkar perlu berhati-hati mengingat Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 akan segera berlangsung. Seluruh kader Partai Golkar tidak hanya harus pandai melihat peluang tetapi juga perlu bekerja keras, jika tidak ingin kehilangan simpati dari masyarakat.
Sosok yang dianggap lebih bersih memang patut dipertimbangkan untuk menggantikan Setnov yang sudah terlanjur dianggap mencoreng citra Partai Golkar. Di sisi lain, perseteruan dalam pemilihan ketua umum Partai Golkar yang baru juga ramai diperbincangkan dan mendapat banyak sorotan dari masyarakat. Apabila tidak diantisipasi dengan baik, angka elektabilitas yang diperoleh Partai Golkar mungkin saja justru akan semakin merosot.
Menanti Akhir Kasus Korupsi Setya NovantoSelama ini, Setnov dikenal sebagai politisi yang 'licin' ketika menghadapi kasus hukum. Salah satu kasus yang pernah menjerat Setnov dikenal dengan istilah ’papa minta saham’. Kasus tersebut berujung pada dugaan pelanggaran etik dan membuat Setnov harus mengundurkan diri sebagai ketua DPR pada 2015.
Tidak perlu waktu lama bagi Setnov untuk dapat memenangkan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Posisi ketua DPR segera direbut kembali oleh Setnov dari tangan Ade Komarudin yang kala itu sempat menggantikan posisinya.
Demikan pula pada kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP yang menyeret nama Setnov sebagai tersangka. KPK bahkan harus menetapkan Setnov sebagai tersangka sebanyak dua kali. Sebelumnya, Setnov berhasil lolos dari status tersangka karena memenangkan gugatan praperadilan.
Setelah hakim tunggal Cepi Iskandar menilai penetapan tersangka untuk Setnov tidak sah, sejumlah lelucon satire berbentuk meme yang ditujukkan untuk Setnov tersebar di media sosial.
Merasa nama baiknya tercemar, Setnov kemudian memerintahkan kuasa hukumnya untuk melaporkan 15 akun Twitter, 9 akun Instagram, dan 8 akun Facebook ke Direktorat Pidana Cyber Crime Bareskrim Polri. Gertakan yang dilakukan oleh Setnov ini pun sempat menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Memang, ketika seseorang merasa citra dirinya berbagai upaya akan dilakukan agar dapat membersihkan stigma negatif terhadap dirinya.
Hal itu sejalan dengan
Face-Negotiation Theory yang ditulis oleh Stella Ting-Toomey (2010). Seseorang cenderung akan melakukan
face restoration sebagai respons pada suatu peristiwa. Biasanya dilakukan ketika peristiwa yang memalukan terjadi. Dengan kata lain, sesorang akan melakukan
face restoration untuk mempertahankan citra dirinya dan menghindari stigma negatif.
Tapi dapatkah Setnov melakukan
face restoration setelah melaporkan pembuat meme itu ke polisi? Alih-alih dipuji, Setnov justru dianggap hanya pamer kuasa.
Kini, Setnov kembali menyandang stastus sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP yang ditaksir merugikan negara hingga 2,3 triliun. Sejak 19 November 2017, Setnov telah mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Negara Kelas I Jakarta Timur cabang Rutan KPK untuk kepentingan penyidikan. Setelah kembali ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya, Setnov pun telah mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang perdana rencananya akan dilakukan pada 30 November 2017. Melihat dari fakta-fakta sebelumnya, tidak menutup kemungkinan Setnov bisa memenangkan lagi praperadilan yang diajukannya.
Tetapi jika kali ini KPK yang berhasil memenangkan praperadilan tersebut, tentu proses yang akan dijalankan KPK masih sangat panjang hingga membuktikan Setnov benar-benar terlibat dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP. Hal menarik yang patut ditunggu setelah itu adalah lama hukuman yang harus dijalani oleh Setnov di balik jeruji besi. Tentu Setnov tidak akan tinggal diam dan akan melakukan berbagai cara agar bisa mendapat keringanan hukuman. Sebab, apabila belajar dari kasus korupsi yang menjerat tiga ketua partai politik sebelumnya, hukuman yang ditetapkan oleh pengadilan paling lama hanya 16 tahun penjara.
Hukuman itu diberikan untuk Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera. Tersangka kasus suap pemberian rekomendasi kuota impor daging kepada Kementerian Pertanian. Luthfi divonis 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider kurungan 1 tahun penjara.
Selain itu, ada Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat. Tersangka kasus korupsi proyek Hambalang. Anas dijatuhkan vonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Namun, vonis banding memperberat hukumannya menjadi 14 tahun penjara. Terakhir, Suryadharma Ali, mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan. Tersangka kasus dugaan korupsi terkait penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013. Suryadharma divonis enam tahun penjara. Namun, vonis banding memperberat hukumannya menjadi 10 tahun penjara.
Apabila nanti Setnov benar-benar terbukti terlibat dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP, akankah dia divonis melebihi Luthfi Hasan Ishaaq? Atau justru lebih ringan dari vonis hukuman yang diterima oleh Suryadharma Ali? Semua itu bergantung bagaimana pengadilan akan menentapkan akhir dari cerita ini.
(ded/ded)