Jakarta, CNN Indonesia -- Zaman semakin maju, saat ini manusia dituntut untuk bisa memiliki keahlian khusus dalam mencari lapangan pekerjaan. Semakin maju zaman, perusahaan juga semakin banyak membutuhkan tenaga yang berkualitas dan mampu bersaing di kancah internasional.
Untuk menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas salah satunya adalah dengan pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi sendiri adalah program pendidikan di mana siswa atau mahasiswanya ditekankan untuk mempunyai keahlian khusus di bidangnya sehingga nantinya mampu menjadi tenaga kerja yang berkualitas dan mampu bersaing secara global.
Di Indonesia sendiri menurut data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2015, ada 12.421 sekolah vokasi atau sekolah menengah kejuruan (SMK). Seperti yang dilansir oleh kelembagaan.ristekdikti.go.id, Indonesia memiliki 4.529 perguruan tinggi dan hanya 5,4 persen yang berbentuk perguruan tinggi vokasi/politeknik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan banyaknya perguruan tinggi vokasi dan sekolah kejuruan di Indonesia, tiap tahunnya Indonesia menghasilkan 3,3 juta lulusan sekolah vokasi dan perguruan tinggi hanya mampu menyerap sekitar 1,7 juta orang, sehingga ada 1,6 juta angka yang harus diserap menjadi tenaga kerja.
Berbagai fasilitas untuk menunjang lulusan vokasi ini harus banyak diperbaiki, terlebih lagi banyak perusahaan yang masih menganggap lulusan SMK masih belum mampu bekerja dan bersaing secara kualitas dibanding lulusan sekolah menengah atas (SMA).
Untuk menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas dari lulusan sekolah vokasi atau perguruan tinggi vokasi, pemerintah bisa menjadikan negara Swiss, Jerman, dan Korea Selatan, Prancis dan Austria sebagai contoh negara yang sudah menerapkan Dual Vocational Education and Training (D-VET) secara maksimal dan ampuh mampu mengurangi pengangguran.
Terlebih lagi di Prancis yang sudah menerapkan dual education sejak tahun 1990 dengan teknologi informasi yang menjadi daya tarik pendidikan vokasinya, dan beberapa negara yang mempunyai sistem ini sehingga mampu menyerap tenaga kerja terutama kaum muda dan menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas juga.
Sehingga dengan mencontoh pendidikan vokasi yang berjalan di negara lain, di Indonesia juga bisa direalisasikan agar pendidikan vokasi ini memiliki kualitas yang mampu bersaing.
Terlebih lagi lulusan vokasi ini masih mendominasi pengangguran di Indonesia, seperti yang dilansir oleh Kompas.com, Badan Pusat Statistik (BPS) melalui data Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2017, menyebut bahwa tingkat pengangguran terbuka turun 0,11 poin, dari 5,61 persen pada realisasi tahun 2016 menjadi 5,50 persen pada realisasi tahun 2017.
Dilihat dari tingkat pendidikannya, SMK menghasilkan pengangguran terbanyak sebesar 11,41 persen dibanding yang lainnya.
RevitalisasiDalam menghasilkan tenaga yang profesional dan mampu bersaing secara global, hendaknya pemerintah melihat dari segi pengelolaan pendidikan vokasi ini, terutama pada pendidikan SMK dengan fasilitas dan kurikulumnya yang harus dibenahi sehingga siswa dan tenaga pengajar merasa nyaman dalam melaksanakan tugas mengajar dan diajarnya.
Di sini Indonesia harus banyak mencontoh sekolah-sekolah yang berbasis internasional, dengan fasilitas yang memadai seperti lab yang menunjung segala kebutuhan praktikum, perpustakaan yang menunjang dan tenaga ahli yang memadai.
Tak lupa juga, dengan berkembangnya zaman sudah pasti era siswanya berbeda-beda. Pemerintah harus banyak mengoreksi kurikulum yang digunakan jenjang pendidikan SMK maupun perguruan tinggi, sehingga nantinya pengajaran pendidikan vokasi akan sesuai dengan era nya dan tidak ketinggalan zaman.
Dengan memperbarui pengelolaannya dan sistemnya, tak luput juga untuk melihat lagi tenaga pelajar ahli yang tersedia, sumber daya manusia (SDM) harus diperbarui terus agar tidak ada tumpang tindih antara keahlian SDM pengajarnya dengan kemajuan teknologi dan informasi dan sesuai dengan industrialisasi masa kini.
Lembaga pendidikan juga harus banyak bekerjasama dengan pemilik perusahaan yang nantinya bisa merealisasikan program dual education. Agar nantinya lulusan pendidikan vokasi ini sudah terlatih dan bersertifikasi karena sudah magang di perusahaan yang bekerjasama dengan pemerintah maupun sekolahnya.
Ini sesuai dengan keinginan Menteri Tenaga Kerja, Muhammad Hanif Dhakiri yang diwawancarai oleh Republika.com, untuk mewujudkan prediksi Indonesia menjadi negara ekonomi terbesar ke tujuh dunia pada tahun 2030, Indonesia harus memiliki 113 juta tenaga kerja terampil. Salah satu sarana untuk menunjang keterampilannya adalah dengan program magang.
Saat ini perekonomian Indonesia berada di posisi 16 besar dunia. Pada 2030 ekonomi Indonesia bisa menjadi tujuh terbesar dunia dengan syarat harus ada 113 juta tenaga kerja terampil. Saat ini Indonesia hanya menghasilkan 56 juta, selanjutnya Indonesia harus menghasilkan 57 juta tenaga kerja terampil hingga 13 tahun mendatang.
Dengan adanya pendidikan vokasi ini diharapkan Indonesia dapat memenuhi tenaga kerja hingga 2030 mendatang, dengan beberapa catatan yang harus dibenahi saat ini. Pemerintah, lembaga pendidik, orang tua dan siswa atau mahasiswa harus saling mendukung satu sama lain dalam menghasilkan program pendidikan vokasi yang diharapkan.
Pemerintah harus mendukung segala fasilitas dan menjadi jembatan untuk kerjasama dengan sekolah luar negeri. Lembaga pendidik juga harus memperbarui SDM ahlinya sehingga kurikulum yang diajarkan sesuai dengan kebutuhan zaman.
Orang tua dan siswa harus saling bersinergi dalam pembentukan karakter dalam mencapai pendidikan yang berkualitas sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003, Pasal 3 yang berbunyi Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
(ded/ded)