Jakarta, CNN Indonesia -- Siapa yang tidak tahu tentang jus buah? Jus buah merupakan minuman yang sering dikonsumsi orang Indonesia yang pembuatannya dilakukan dengan mengekstrak cairan buah dari buah tersebut.
Tren konsumsi jus buah di Indonesia ternyata cukup tinggi, berbanding lurus dengan produksi buah Indonesia yang melimpah. Pada tahun 2011 sampai 2015, pertumbuhan rata-rata konsumsi jus jeruk di Indonesia adalah 9,11 persen per tahun.
Dari sekian banyak pembelian dan konsumsi jus buah, jus yang dikemas adalah yang paling diminati masyarakat. Jus seperti ini tentunya bisa didapatkan dari minimarket terdekat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jus yang dikemas menawarkan kemudahan di tengah rutinitas yang tinggi setiap harinya. Jus seperti ini biasanya sudah melalui proses pasteurisasi yang berarti dilakukan pemanasan untuk mengawetkan jus tanpa bahan pengawet.
Namun, proses ini memiliki efek samping yaitu menurunkan kandungan nilai gizi jus buah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nilai gizi pada jus buah yang tidak dipasteurisasi secara signifikan lebih tinggi daripada jus yang dipasteurisasi.
High Pressure Processing (HPP) (juga dikenal sebagai pemrosesan High Hydrostatic Pressure (HHP) atau Ultrahigh-Pressure Processing (UHP) adalah proses non-termal di mana makanan atau minuman diberi tekanan tinggi selama beberapa milisekon sampai beberapa menit.
Pada tahun 1899, untuk pertama kalinya HPP diaplikasikan pada jus buah, buah segar, susu, dan daging dan unggas di Amerika Serikat. Prosesnya mencapai tahap komersial pada tahun 1990, yaitu produk-produk selai yang diproses dengan HPP diproduksi di Jepang.
Perusahaan lain mulai memproduksi jus jeruk dan jeruk curah dan produk lainnya dengan keasaman yang tinggi termasuk jeli buah, saus, yoghurt buah, purée dan salad. Produk serupa kemudian memasuki pasar-pasar Amerika Serikat, diikuti oleh guacamole yang diolah dengan HPP, tiram, hummus, fillet ayam dan smoothies buah.
Tujuan utama HPP adalah untuk pengawetan. Proses utamanya terdiri dari pengaplikasian tekanan tinggi ke makanan untuk mengurangi mikrorganisme penyebab penyakit dan kebusukan, serta untuk menginaktivasi enzim-enzim yang tidak diinginkan. Value yang didapat dari proses HPP adalah menghasilkan kualitas produk yang lebih tinggi, meningkatkan keamanan produk yang bersangkutan dan juga memperpanjang umur simpannya.
Tidak seperti teknologi konvensional lainnya, HPP sangat sedikit pengaruhnya dalam mengubah zat gizi dalam suatu produk, terutama vitamin dan mineral. Proses ini dapat mempertahankan rasa dan aroma alami pada jus buah. Dari atribut warna, warna alami buah kebanyakan tidak terpengaruh oleh proses HPP. Seluruh produk HPP biasanya disimpan pada suhu dingin ketika dijual.
Keterbatasan utama proses HPP adalah biaya modal yang relatif mahal. Biaya utama yang terlibat dalam penggunaan HPP adalah peralatan dan pemasangannya. Biaya rata-rata HPP berkisar antara US$0,05 sampai US$0,5 per liter atau per kilogram tergantung pada kondisi pemrosesan.
Secara umum, beberapa jenis mikroba tahan tekanan yang dapat menahan tekanan hingga sepuluh ribu kali dari biasanya pada suhu kamar. Semakin tinggi tekanan yang diberikan, semakin tinggi biaya yang dikeluarkan.
Biaya dari proses HPP yang sedemikian rupa membuat teknologi ini hanya cocok untuk produk dengan kualitas premium. Kombinasi HPP dengan pengawetan lain mampu menurunkan tekanan yang dibutuhkan, sehingga mengurangi biaya penghasilan produk
Pada akhirnya, di Indonesia HPP jarang digunakan untuk pengolahan hasil jus. HPP cocok terutama untuk produk bermutu premium dengan harga lebih tinggi dari produk standar kualitas. Umumnya, masyarakat Indonesia kurang memperhatikan kualitas, dan lebih tertarik pada produk dengan karakteristik sensoris yang baik dan mampu dibeli dengan harga murah.
Ferdian dan Gervasius Harwin Wangrimen
Universitas Surya, Tangerang
(ded/ded)