Jakarta, CNN Indonesia -- Pada hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember, media sosial menjadi ladang ekspresi warganet. Pengguna Instagram berbondong-bondong mengunggah potret diri bersama ibu mereka dengan caption yang menggambarkan rasa sayang dan bangga mereka kepada ibunya. Sama halnya dengan beragam hari perayaan lain, media sosial kerap menjadi medium selebrasi masyarakat.
Dengan kelahiran media sosial beserta ragam fiturnya, masyarakat sebagai khalayak media massa kini tak hanya berpartisipasi secara pasif. Masyarakat dapat turut menebar pandangan melalui kolom komentar. Di samping itu, masyarakat pula difasilitasi untuk memanfaatkan media sosial sebagai ladang unjuk gigi.
Sejumlah selebgram lahir di media sosial dan sukses meraup atensi publik serta keuntungan dari berbagai tawaran iklan. Di balik suksesnya para selebgram dalam mencuri atensi publik, kecermatan dalam melihat selera warganet seolah menjadi kunci bagi keberlangsungan hidup warga media sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mencapai jumlah
followers yang banyak, para selebgram tak terlepas dari usaha untuk mempertahankan eksistensinya. Baik dengan unjuk bakat, menunggah foto dan video yang menarik, atau berbagi pandangan yang menuai kesukaan dan ketidaksukaan warganet.
Sama halnya dengan setiap pengguna sosial harus mampu menciptakan unggahan yang menarik warganet untuk mencetak angka
likes yang tinggi. Cara menariknya pun beragam. Baik dengan ungkapan yang sangat menggambarkan perasaan dan pikiran warganet, atau dengan unggahan yang memancing emosi warganet.
Di tengah akrabnya selebgram dengan
followers, media sosial kerap diramaikan dengan beragam isu yang diperbincangkan anak muda. Isu tersebut lahir dari sebuah ucapan, foto, atau video yang dipandang sangat baik atau sebaliknya, dipandang kontroversial. Anak muda yang digadang-gadang sebagai millenials seolah menjadi kaum yang paling tahu tentang beragam keseruan di media sosial.
Menurut data dari situs resmi Alvara Research Center, pengguna internet di Indonesia didominasi oleh generasi milenial atau yang pula akrab disapa Generasi Z. Dari 132 juta pengguna internet, 40 persen merupakan pengguna media sosial. Hal ini terkait fakta pengguna Instagram di Indonesia yang mencapai lebih dari 45 juta, merupakan jumlah terbanyak di Asia Pasifik (sumber: www.bisnis.tempo.co pada 24 Juli 2017).
Apa itu Generasi Milenial? Generasi milenial tak asing lagi di telinga masyarakat, terlebih terkait maraknya penggunaan media sosial dan perkembangan teknologi. Generasi milenial atau Generasi Z adalah generasi yang lahir pada 1981 – 2000. Terkait dengan eranya, generasi milenial adalah generasi yang paling akrab dengan internet serta beragam produk digital. Entertainment yang bersumber pada gawai dan koneksi daring (online) menjadi andalan penerus generasi Y ini.
Di samping masa keemasan media sosial sebagai ladang kebebasan berekspresi, media sosial kerap menjadi ladang kebencian. Bercermin pada beberapa waktu terakhir, pertikaian karena ujaran kebencian dan komentar tidak menyenangkan beberapa kali terjadi. Beberapa di antaranya berlanjut pada tindak pihak berwenang terkait pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE).
Bercermin pada dunia Twitter pasca kematian seorang personel SHINee Jonghyun, sebuah akun Twitter mengunggah ungkapan yang mengundang amarah sejumlah warganet (19/12). Ungkapan tersebut dianggap sebagai guyonan menyinggung sejumlah pihak yang tengah berduka atas kepergian Jonghyun. Akun tersebut memiliki 611,2K followers dan kerap mengunggah foto atau kicauan dagelan.
“Ribuan manusia dibunuh di Palestina, mereka diam. 1 plastik bunuh diri, mereka menangis,” ungkap akun tersebut melalui kicaunya di Twitter. Merespons kicauan tersebut, sejumlah pengguna Twitter menyatakan ketidaksukaannya terhadap akun tersebut. Sejumlah media daring turut memberitakan kicauan tersebut sebagai sebuah ungkapan kontroversial di media sosial. Pada Sabtu, 23 Desember 2017 kicauan tersebut tidak lagi ditemukan dalam akun Twitter yang bersangkutan.
Media sosial seolah menghapus batasan masyarakat dalam bersosialisasi. Dengan segala kemudahan dan fasilitasnya, siapa pun dapat berinteraksi dengan siapa pun di media sosial. Dunia seolah menjadi lebih sempit dalam semunya dunia maya.
Dengan hilangnya batasan tersebut, siapa pun bebas mengekspresikan diri dan menebar pandangan. Namun di balik itu, siapa pun pula berhak berekspresi dengan tanggapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu unggahan. Siap berekspresi, artinya siap berhadapan dengan ekspresi orang lain.
Di balik kebebasan selalu ada tanggung jawab. Sama halnya dengan di balik kebebasan berekspresi dan menebar pandangan di media sosial, terdapat tanggung jawab atas perkataan dan unggahan untuk tidak menyakiti orang lain. Sekarang, tinggal kita sebagai warganet yang pilih.
Vidya Pinandhita
Mahasiswi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran
(ded/ded)