Jakarta, CNN Indonesia -- Seni peran memberi makna pada sikap peranan. Tentu. Hal itu tidak hanya berlaku dalam seni drama saja, juga seni film tentunya. Cakupan seni peran seluas alam raya. Di seni hidup ada seni peran natural.
Ketika masa kanak-kanak, jika masih diingat, sederhana sekali. Pernahkah kamu merengek minta mainan atau berdebat dengan kakak sebelum berangkat sekolah? Atau diskusi dengan Ayah atau Ibu dengan amat serius? Seni peran natural, itulah dasar paling sederhana, berguna membentuk peranan kamu menjadi seperti kamu kini.
Semisal melihat riasan wajahmu di cermin. Senyum, mematut diri. Sudah pantaskah busana hari ini untuk ke kampus? Ke tempat kerja? Bermasyarakat? Seragam sekolah kamu sudah baikkah lipatan setrikaanya? Keyakinan itu, dasar sekali dari perwatakan peranan kamu, sederhana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dalam seni peran di seni panggung pada seni drama, di mulai dari membaca naskah secara personal. Lalu membaca bersama dalam satu etika lingkaran menuju bedah naskah. Mencari toleransi pemahaman peran tokoh tertulis, dalam sebuah naskah drama. Masing-masing calon aktor membuka tabir tokoh calon akan diperankan, dengan metode riset, pengembangan perwatakan calon peranan.
Riset bisa dalam bentuk teks, visual, mengamati lingkungan sekitar, pengalaman jalan-jalan, bergantung pada kebutuhan personal calon aktor. Kebutuhan mengisi karakter calon atau akan diperankan seperti tertulis dalam teks sebuah naskah drama, skenario.
Maka berlangsunglah suatu diskusi panjang. Bisa dengan sutradara merangkap penulis naskah atau sutradara saja, karena pembuat naskah sudah almarhum, misalnya, hehehe.
Kebudayaan besar melahirkan ilmu antropologi, sosiologi, sosio-psikologi, ekonomi, lingkungan, kultural edukasi, sosio-politik, industri, sosio-kepakaran, sosio-musik, sosio-seni terapan, sosio-seni dua dimensi dan tiga dimensi, sosio-ilmu kontemporer dan banyak lagi ilmu kait berkait, kontekstual dengan seni peran, dalam persiapan seorang aktor menuju peranan, melengkapi pustaka keaktorannya.
Tidak mudah, memang, jika ingin menjadi dramawan atau pemain film tangguh dan benar. Ada saja pemain drama atau film yang belum mencapai keaktoran, atau bisa disebut juga aktor setengah matang. Semisal seorang aktor terlibat perbuatan negatif di tengah publik, artinya pengendalian perilaku personal masih lemah atau belum baik dan benar.
Ada juga aktor, akan tetapi belum mencapai seni dari peranannya. Lalu apa dong aktor itu. Sederhana. Menjadi manusia kontekstual (positif) dan memanusiakan manusia dengan kesadaran super tinggi pada hidup sehari-hari dan lingkungan dirinya. Bisa lingkungan akademik maupun non akademik (empiris).
Mengapa demikian. Karena bekal aktor adalah ruh dan tubuh. Mengapa ruh dan tubuh. Karena di kedua esensi humanis itulah terdapat etika intelegensi positif.
Mengapa intelegensi positif. Sebab calon aktor wajib senantiasa berperilaku positif, selalu memberi kesadaran perilaku baik dan benar bagi dirinya, di masyarakat dan lingkungannya. Semisal, aktor mumpuni wajib dan berani, menolak narkoba.
Sampai di sini dulu. Lain waktu di sambung lagi. Sedikit demi sedikit pasti menjadi bukit. Salam Indonesia bagus bagi negeri para sahabat.
(ded/ded)