Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan di wilayah yang saat ini menjadi Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan.
Sejarah Kerajaan Wajo bermula pada sekitar 1399 atau abad ke-15 dan berubah menjadi kesultanan Islam setelah ditaklukkan Kesultanan Gowa-Tallo pada abad ke-17, seperti dikutip dari laman Wajokab.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian memasuki abad ke-18, Kerajaan Wajo mencapai puncak kejayaan saat berhasil menggantikan kebesaran Kesultanan Bone.
Berikut sejarah singkat Kerajaan Wajo, masa kejayaan, dan peninggalannya yang dirangkum dari berbagai sumber.
![]() |
Sejarah awal Kerajaan Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas yang terdiri dari orang-orang dari berbagai daerah di pinggir Danau Lampulung.
Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang diberi gelar Puangnge Ri Lampulung. Ia dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam, dan memiliki tata cara bertani yang baik.
Berawal dari komunitas itu, Kerajaan Wajo didirikan oleh tiga anak raja dari kampung tetangga yakni Cinntabo.
Kepala keluarga dari mereka kemudian menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Akan tetapi, Batara Wajo yang ketiga dipaksa untuk turun takhta dan dibunuh karena kelakuan buruknya.
Dikutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid 3: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, wilayah kekuasaan Wajo yang dipimpin oleh La Tadampare Puang ri Maggalatung Arung Matoa IV meluas.
Memasuki adab ke-16, Wajo berhasil mendapatkan sebagian wilayah Sindereng dan Cina. Akan tetapi keadaan kembali berubah saat Luwu ditaklukkan oleh Kerajaan Bone.
Bone juga bersekutu dengan Gowa-Tallo untuk melawan Wajo. Bone dan Gowa-Tallo berubah menjadi lawan karena perebutan hegemoni Sulawesi Selatan.
Kemudian Wajo jatuh ke tangan Gowa-Tallo dan akhirnya turut mendukung perang melawan Bone. Namun Kerajaan Gowa-Tallo gemar berlaku keras terhadap negeri Bugis.
Akibatnya, Wajo dan Soppeng membentuk Persekutuan Tellumpoccoe bersama Bone pada 1582. Persekutuan ini bertujuan untuk meraih kembali kedaulatan tanah Bugis dan menghentikan Kerajaan Gowa-Tallo.
Upaya ketiga negeri ini berhasil mematahkan serangan Gowa-Tallo ke Wajo pada 1582. Begitu juga dengan serangan ke Bone pada 1585, 1588, dan serangan 1590.
Meski telah mengalami kegagalan, Kerajaan Gowa-Tallo tetap berkembang menjadi kekuatan utama di Semenanjung Sulawesi Selatan yang mendukung perdagangan internasional dan menyebarkan agama Islam.
Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menundukkan dan mengislamkan Soppeng (1609), Wajo (1610), dan Bone (1611).
Akan tetapi, Kerajaan Gowa-Tallo tidak membubarkan Persekutuan Tellumpoccoe dan membiarkan Wajo mengatur urusan dalam negerinya.
Selain itu, dari sumber hikayat lokal diketahui bahwa seorang ulama terkenal dari Minangkabau bernama Dato ri Bandang memberikan pelajaran agama Islam kepada raja-raja Wajo dan rakyatnya.
Menjelang akhir abad ke-17, Kerajaan Wajo sempat mengalami masa suram. Saat Kerajaan Gowa-Tallo menyerah, Wajo menolak menandatangani Perjanjian Bongaya.
Pada 1670 perjuangan terhenti, saat ibu kota Kerajaan Wajo yang berlokasi di Tosora jatuh ke pihak VOC dan Bone yang dipimpin oleh Arung Palakka.
Setelah itu, rakyat Wajo memilih untuk bermigrasi karena tidak sudi dijajah. Pada 1726, muncul sosok bernama La Maddukelleng, yang menjadi musuh bebuyutan Belanda.
Melihat tekad dan usaha-usahanya untuk membebaskan Wajo dan Sulawesi Selatan dari kekuasaan Belanda, La Maddukelleng kemudian diangkat menjadi Arung Matoa ke-31 pada 1736.
Di bawah kekuasaan La Maddukelleng, rakyat dapat memenangkan perang melawan Bone dan Kerajaan Wajo dapat direbut kembali dari Belanda.
La Maddukelleng juga sempat memajukan kehidupan sosial dan politik Wajo di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan sebelum akhirnya mengundurkan diri pada 1754.
Pada akhir pemerintahan La Maddukelleng, Wajo mulai mengalami pergolakan yang terus berlangsung hingga abad ke-18.
Memasuki abad ke-19, Islam semakin mengakar kuat di Wajo. Akan tetapi, kemelut di kerajaan juga tidak kunjung usai karena para anggota dewannya tidak dapat bersepakat untuk memilih Arung Matoa yang baru.
Sampai pada 1905, Kerajaan Wajo akhirnya takluk kepada Belanda dan menyerahkan semua urusannya kepada pemerintahan kolonial.
Kerajaan Wajo meninggalkan beberapa bangunan dan makam. Dikutip dari laman Kemdikbud, peninggalan Kerajaan Wajo di antaranya:
Demikian sejarah Kerajaan Wajo, perkembangan, dan peninggalannya. Semoga bermanfaat.
(juh)