Biografi Bung Tomo dan Perjuangannya untuk Indonesia

CNN Indonesia
Kamis, 07 Nov 2024 17:00 WIB
Ilustrasi. Melalui riwayat hidup atau biografi Bung Tomo, kita dapat mengetahui apa saja perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. (Alex Mendur via Wikimedia Commons)
Jakarta, CNN Indonesia --

Soetomo atau Bung Tomo adalah nama pahlawan yang dikenang dalam Hari Pahlawan. Melalui biografi Bung Tomo, kita dapat mengetahui riwayat hidup dan jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Bung Tomo berperan dalam menyiarkan semangat perjuangan melalui radio ke penjuru Tanah Air dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan.

"Merdeka atau mati!" menjadi slogan ikonis Bung Tomo yang begitu dikenal hingga sekarang. Perjuangannya dalam melawan penjajah di Indonesia memang layak untuk dikenang.

Dirangkum dari berbagai sumber, berikut adalah riwayat hidup singkat Bung Tomo dan perjuangannya untuk Indonesia.

Biografi Bung Tomo

Mengutip Buku Bung Tomo: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia oleh Raka Saliraning Gati, Bung Tomo adalah anak pertama dari enam bersaudara.

Ia memiliki adik yang Bernama Sulastri, Suntari, Gatot Suprapto, Subastuti, dan Hartini. Orang tua mereka adalah Kartawan Tjiptowidjojo dan Subastita.

Pria yang lahir di Kampung Blauran, Surabaya, pada 3 Oktober 1920 ini hidup berkecukupan. Hal itu didasari oleh ayah Bung Tomo merupakan seorang priyayi kelas menengah dengan beragam pekerjaan seperti pegawai pemerintah hingga karyawan di perusahaan swasta.

Kartawan juga pernah bekerja sebagai asisten di kantor pajak serta pegawai di perusahaan ekspor-impor Belanda hingga polisi kotapraja. Selain itu, Kartawan aktif dalam organisasi Sarekat Islam (SI).

Latar belakang ekonomi yang berkecukupan membuat Soetomo memiliki privilese dalam bidang pendidikan. Bung Tomo pertama kali bersekolah di Sekolah Rakyat Surabaya atau dikenal Hollandsch Inlandsche School (HIS) dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.

Setelah lulus dari HIS, Soetomo melanjutkan pendidikan ke sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yakni sekolah menengah pertama yang didirikan tahun 1914. MULO diperuntukan rakyat Indonesia golongan atas, warga Tionghoa, dan orang Eropa di Indonesia.

Mata pelajaran yang menarik bagi Soetomo ketika belajar di sana adalah ilmu sosial dan sejarah yang berkaitan dengan perjuangan pribumi. Dia tidak berminat pada pelajaran matematika dan bahasa asing seperti Belanda, Jerman, dan Prancis.

Soetomo tumbuh menjadi pribadi yang kritis, dewasa, dan juga berani. Meski bersekolah di MULO, Bung Tomo tidak sepakat dengan kebijakan kolonial Belanda.

Pendidikan Soetomo di MULO harus berakhir karena depresi ekonomi yang terjadi saat itu. Bung Tomo memilih untuk bekerja serabutan demi membantu kondisi ekonomi keluarganya.

Meski demikian, pendidikan merupakan kewajiban bagi keluarga Soetomo. Maka itu, Bung Tomo didorong untuk melanjutkan pendidikannya di Hoogere Burgerschool (HBS) melalui korespondensi.

Selama bersekolah di HBS, Bung Tomo semakin menyadari diskriminasi yang dilakukan pihak Belanda dalam sistem pendidikan.

Selama lima tahun bersekolah di HBS, Bung Tomo dinyatakan lulus dengan cara korespondensi atau tidak tercatat sebagai lulusan resmi HBS. Namun Bung Tomo dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Bung Tomo sempat menyelesaikan pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dia merasakan bangku kuliah pada usia 39 tahun. Meskipun kuliah, Bung Tomo tetap terlibat aktif dalam berorganisasi dan berbagai kegiatan politik.

Bung Tomo meninggal saat beribadah di Arafah pada 1981. Jenazahnya kemudian dibawa pulang ke Indonesia. Bung Tomo tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel, Surabaya.

Perjuangan Bung Tomo untuk Indonesia

Mengutip Buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit NARASI, Bung Tomo sudah aktif mengikuti sejumlah organisasi seperti Kepanduan Bangsa Indonesia. Pada usia 17 tahun, ia menjabat sebagai Sekretaris Partai Indonesia Raya (Parindra) Cabang Tembok Duku, Surabaya.

Selain dikenal sebagai aktivis Bung Tomo juga merupakan seorang wartawan. Tercatat ia pernah mendirikan Kantor Berita Indonesia di Jalan Tunjungan, Surabaya, yang saat ini dibangun Monumen Pers Perjuangan, seperti ditambahkan Buku Pekik Tabir Bung Tomo oleh Fery Taufiq.

Ketekunannya terhadap dunia jurnalistik telah dilakukan sejak usia 17 tahun. Dia pun pernah menjadi wartawan lepas di Harian Soeara Omoem Surabaya tahun 1937. Pada 1938, Bung Tomo menjadi redaktur mingguan Pembela Rakyat di Surabaya.

Bung Tomo pernah menjadi wartawan dan penulis lepas di pojok harian Ekspres dengan menggunakan Bahasa Jawa. Dia juga pernah ditunjuk untuk membantu koresponden di beberapa media Surabaya dan majalan Poestaka Timur di Yogyakarta.

Pada 1942, Bung Tomo dipercaya sebagai wakil pemimpin redaksi di kantor berita pendudukan Jepang, Domei Surabaya. Dia juga pernah menjadi pemimpin redaksi Kantor Berita Antara pada 1945.

Selain dikenal sebagai aktivis dan wartawan yang andal, Bung Tomo juga terkenal dengan semangatnya dalam berorasi, salah satunya pun orasi yang terjadi pada tragedi 10 November 1945.

Semangat Bung Tomo membangkitkan rakyat untuk melawan penjajahan Belanda. Saat Surabaya diserang oleh tantara NICA, Bung Tomo menjadi yang terdepan dalam memberikan komando kepada masyarakat Surabaya.

Bung Tomo berperan dalam menyiarkan semangat perjuangan melalui radio ke penjuru tanah air dalam pertempuran yang terjadi selama tiga minggu sejak 10 November 1945.

Pada 3 Oktober 1945 tercatat sebagai hari masyarakat Surabaya membangun Radio Pemberontakan. Hal tersebut merupakan bagian dari taktik Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang berdiri pada 12 Oktober 1945.

Kala itu keresahan Bung Tomo hadir saat perjalanan menuju Jakarta di mana ia melihat sekutu menggertak pasukan Indonesia di Jawa Barat. Bendera Belanda telah berkibar kembali di tangsi-tangsi militer bekas kedudukan Jepang.

Saat itu pun Presiden Soekarno dan wakilnya Hatta memilih jalan diplomasi karena merasa pasukan Indonesia tidak berdaya dan minim senjata. Hal tersebut bertolak belakang dengan semangat Bung Tomo juga tekad bulatnya pada masyarakat Surabaya untuk melawan kolonial.

Ketika kembali, masyarakat Surabaya mendapati suara menggelegar yang membuat seisi kota bergerak. Sejak Oktober hingga November 1945 lewat orasi di Radio Pemberontakan yang terletak di Jalan Mawar, Surabaya, agitasi dan propaganda Bung Tomo menjadi menu setiap hari bagi arek Surabaya.

Bung Tomo juga dikenal sering mengkritik tajam Presiden Soekarno. Menurutnya, untuk melawan penjajah tidak diperlukan jiwa negosiasi.

Soetomo bersama rakyat Surabaya memilih mati bersama-sama daripada Indonesia tidak 100 persen merdeka. Usulan Soekarno untuk audiensi dengan bangsa sekutu ditolak mentah-mentah olehnya.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo mendalami keahliannya dengan terjun ke dunia politik tahun 1950. Dia juga menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata (Veteran) tahun 1955-1956.

Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia yang didirikannya.

Demikian biografi Bung Tomo yang perlu kamu ketahui untuk menyambut Hari Pahlawan. Semoga bermanfaat!

(glo/juh)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK