Jakarta, CNN Indonesia -- Keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah untuk membangun infrastruktur ketenagalistrikan membuat Indonesia harus mengandalkan investasi dari perusahaan swasta. Jika pemerintah gagal mengundang investor swasta untuk membantu PT PLN (Persero) membangun pembangkit baru dalam waktu dekat, Indonesia terancam krisis listrik dalam dua tahun ke depan.
"Siang tadi saya mengumpulkan semua tim Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan dan PLN untuk melaporkan situasi kelistrikan saat ini. Memang kalau kita tidak melakukan langkah apapun, dalam dua tahun akan terjadi krisis listrik," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantornya, Selasa (4/11).
Menurut Sudirman, untuk mengimbangi pertumbuhan kebutuhan listrik sebesar 9 persen per tahun maka Indonesia harus membangun pembangkit-pembangkit dengan total kapasitas 7 ribu Megawatt (MW) per tahun. "Sementara kemampuan nasional kita untuk membangun pembangkit hanya 2 ribu MW. PLN menyatakan mereka memiliki keterbatasan dari sisi neraca pendanaan, sehingga memang harus memberi tempat bagi pemain swasta nasional maupun asing," ujar Sudirman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri menurut Sudirman telah menugaskan instansinya mengkaji semua opsi pendanaan yang harus dicari untuk memenuhi target pemerintah membangun pembangkit listrik berkapasitas 35 ribu MW selama lima tahun ke depan.
Sementara Direktur Utama PLN Nur Pamudji mengatakan dalam proyek listrik sebesar 35 ribu MW akan lebih diprioritaskan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). "Pembangunan PLTU dan PLTG akan diprioritaskan untuk proyek penambahan listrik 35 ribu MW. Mengapa tidak menggunakan tenaga geothermal, karena dari 26 pembangkit yang sudah dilelang hanya ada tujuh pembangkit yang bisa direalisasikan," kata Nur Pamudji.
Menurut Nur Pamudji, hambatan utama dalam mengerjakan proyek pembangkit baru adalah masalah klasik pembebasan lahan dan hambatan dari sisi regulasi. "Melihat sejarahnya sejak 2006 hingga 2014 secara akumulatif kita sudah memiliki 67
power purchase agreement (PPA). Tapi hanya 29 persen saja yang benar-benar terealisasi dalam bentuk pembangkit. Kalau masih menggunakan cara yang sama, kita tidak akan bisa mencapai kapasitas listrik yang diharapkan," tegasnya.
Untuk dapat meningkatkan minat perusahaan swasta (
independent power producer/IPP) dalam membangun pembangkit sendiri maupun melalui skema
public private partnership (PPP), pemerintah harus menghilangkan hambatan sering dialami. "Salah satu risiko yang mereka hadapi adalah munculnya rent seeking, hambatan di perizinan, serta keadaan finansial IPP yang bisa tiba-tiba macet. Butuh lembaga independen untuk menilai kelengkapan dan kemampuan pendanaan para IPP yang tertarik di dalam proyek listrik 35 ribu MW," kata Nur Pamudji.
Dari total kapasitas 35 ribu MW yang akan dibangun pemerintah selama lima tahun ke depan, PLN telah menyatakan kesanggupannya untuk membangun 42,85 persen diantaranya yaitu sebesar 15 ribu MW. Sementara 20 ribu MW lainnya akan dibangun oleh IPP. Untuk membangun pembangkit-pembangkit listrik dengan kapasitas total 15 ribu MW, PLN membutuhkan dana sekitar US$ 22,5 miliar.
Sebelumnya Nur Pamudji berharap naiknya indikator kemudahan mendapatkan listrik nasional (
getting electricity) dari posisi ke 101 menjadi 78 diharapkan bisa meningkatkan Fitch rating PLN sehingga bisa lebih mudah mencari pinjaman. PLN akan terus berupaya menaikkan peringkat kemudahan mendapatkan listrik Indonesia sehingga bisa menembus posisi ke-50.