Pengenaan Pajak Hunian Mewah Bakal Didasarkan Harga
Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Sabtu, 07 Mar 2015 14:03 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Proyek reklamasi Agung Podomoro. (Foto Detik/Dikhy Sasra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mengubah kriteria hunian mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Dari sebelumnya didasarkan pada luas hunian, nantinya pengenaan PPnBM dihitung dari kriteria harga rumah.
"Kami ingin ada formula khusus untuk menentukan hunian yang dianggap mewah. Karena di Jakarta angka Rp 1 sampai 2 miliar sudah tidak semewah (seperti) tahun lalu," ujar Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonegoro di Jakarta, kemarin.
Bambang menjelaskan, adanya perubahan kriteria tersebut dilakukan seiring penjualan hunian mewah di kota-kota besar yang terus meningkat. Untuk apartemen, contohnya, sudah tidak relevan jika pengenaan PPnBM hanya ditujukan untuk hunian vertikal yang memiliki luas di atas 150 meter persegi.
Pasalnya, kata dia, harga apartemen di kota-kota besar sudah mahal meski ukurannya tak lebih luas dari 150 m2. "Kami ingin buat ke nilai baru, berapa yang pas untuk dikatakan mewah atau tidak. Yang pasti di atas Rp 1 miliar. Atau jangan-jangan di Jakarta (harga) Rp 1 sampai 2 miliar sudah tidak mewah lagi," ungkapnya, Jumat (6/3).
Meski begitu, Bambang mengakui bahwa jajarannya mengalami kesulitan di dalam mengimplementasikan aturan ini. Selain susahnya menemukan formula khusus menyoal harga hunian mewah, minimnya data teranyar mengenai status kepemilikan pun menjadi salah satu penghambat diberlakukannya aturan tersebut.
"Karena banyak peralihan apartemen dari pemilik satu ke setelahnya tidak termonitor dengan baik, tidak terlacak, dan pajaknya juga tidak masuk," cetusnya.
Pengenaan PPnBM sejatinya hanya diberlakukan bagi pemilik pertama untuk setiap hunian mewah. Lantaran mendapati kesulitan dalam hal penentuan formula dan pendokumentasian nama pemilik, Bambang memperkirakan penerapan kebijakan ini bakal tak maksimal untuk menggenjot penerimaan negara dari sektor tersebut. Padahal potensi pajak dari sektor tersebut dinilai sangat besar.