Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Perusahaan Perawatan Pesawat Terbang Indonesia (Indonesia Aircraft Maintenance Services Association/ IAMSA) menentang kebijakan Bank Indonesia yang mewajibkan korporasi menggunakan rupiah dalam setiap transaksinya. Dengan 90 persen penerimaan dalam bentuk dolar Amerika Serikat, keputusan sepihak bank sentral itu diyakini akan menimbulkan rugi kurs yang cukup besar bagi perusahaan perawatan pesawat.
“Saya rasa dampak dari kebijakan ini sangat besar buat kita. (Penerimaan) kita sangat tergantung pada dolar," kata Ketua Dewan Pimpinan IAMSA Richard Budihadianto disela acara Konferensi Aviation MRO Indonesia (AMROI) 2015, Jakarta, Selasa (12/5).
Direktur Utama GMF Aeroasia ini mengungkapkan sekitar 70 persen dari biaya pemeliharan dan perawatan pesawat (maintenance, repair, and overhaul/ MRO) merupakan biaya suku cadang yang seluruhnya masih diimpor. Adapun transaksi pembayarannya masih menggunakan mata uang dolar AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Semua barang yang dipakai di pesawat semua impor tidak ada yang bisa kita buat,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Richard, perusahaan jasa perawatan pesawat terbang mengenakan sebagian besar tarif dalam mata uang dolar kepada maskapai untuk mengganti biaya suku cadang. Alhasil, sekitar 90 persen penerimaan perusahaan MRO dalam dolar.
Dari total US$ 900 juta biaya perawatan yang harus dikeluarkan oleh maskapai penerbangan di Indonesia pada tahun ini, Richard memperkirakan 30 persen atau sekitar US$ 300 juta diserap oleh industri MRO dalam negeri. Karenanya, IAMSA akan melakukan pembicaraan lanjutan dengan pemerintah terkait kebijakan ini.
“Rugi kurs pasti ada (apabila kewajiban transaksi dalam mata uang rupiah berlaku). Nanti kami akan pelajari dan konsultasi dengan pemerintah mengenai ini bagaimana dampaknya bagi perusahaan yang semua transaksi ataupun cost nya dalam dolar,” katanya.
Sebelumnya, kewajiban penggunaan mata uang rupiah dalam bertransaksi di tanah air juga telah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Kendati demikian, berdasarkan catatan BI, transaksi pembayaran menggunakan mata uang asing masih terjadi.
BI menaksir potensi transaksi yang menyimpang karena menggunakan mata uang asing mencapai US$ 6 miliar per bulan yang diantaranya berasal dari penyewaan properti, sektor pariwisata, dan industri bahan kimia.