Pengamat: Dana Aspirasi DPR Berpotensi Picu Korupsi Berjamaah

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Selasa, 09 Jun 2015 13:35 WIB
IPR menilai posisi politik pemerintahan Joko Widodo sangat rapuh sehingga sangat mungkin kompromi dengan DPR untuk meloloskan dana aspirasi.
Riant Nugroho, Direktur Eksekutif Institute for Policy Reform (IPR) yang juga Dosen Kebijakan Publik Universitas Indonesia (Dok. Akun Facebook Riant Nugroho)
Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Policy Reform (IPR) menilai upaya Dewan Perwakilan Rakyat menyelipkan alokasi dana aspirasi untuk daerah pemilihan dalam APBN 2016 menyalahi aturan dan berpotensi menimbulkan korupsi berjamaah.

"Kalau itu diberikan bisa terjadi kerusakan yang parah dan melembaga atau istilahnya institutional hazard. Bisa terjadi korupsi berjamaah karena mengambil hak (pengelolaan anggaran) yang bukan tupoksinya," ujar Direktur IPR Riant Nugroho kepada CNN Indonesia, Selasa (9/6).
 
Untuk itu, Riant meminta pemerintah dan DPR melakukan instropeksi diri terkait tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) masing-masing selaku eksekutor dan legislator. DPR, kata Riant, sudah seharusnya memperjuangkan aspirasi pembangunan daerah pemilihannya, tetapi harus diterjemahkan dalam program-program pemerintah pusat dan daerah.

"Dari segi kepatutan, jatah Rp 20 miliar buat DPR menyenangkan konstituennya itu tidak pada tempatnya. Yang bisa dilakukan adalah bernegosiasi dengan eksekutif untuk mengedepankan pembangunan di daerah pemilihannya," ujar dia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jokowi Diragukan

Riant Nugroho menilai ada upaya menyelinapkan hasrat anggota DPR untuk membelanjakan sebagian dari APBN tahun depan. Namun, dia meragukan pemerintahan Joko Widodo bisa menolak permintaan para politisi Senayan tersebut mengingat hubungan keduanya kurang harmonis.

"Kalau ada penentangan dari pemerintah itu sudah benar, tapi kemungkinan pemrintahan Jokowi akan memberikan itu, ditawar jadi Rp 10-15 miliar per anggota, untuk istilahnya menyuap legislatif," tuturnya.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia ini menganggap praktik semacam ini sebagai bentuk kenakalan politik yang tidak lagi lazim dilakukan di negara-negara dengan tingkat kedewasaan demokrasinya tinggi. Modus-modus menyelinapkan anggaran seperti ini biasanya menimbulkan wilayah adu-abu yang bisa dimainkan oleh oknum.

"Fungsi dari DPR  kan tiga, fungsi budgeting, fungsi pembuat undang-undang, dan fungsi pengawasan. Tidak diperbolehkan secara akademik maupun praktik, legislatif melalukan fungsi yang sifatnya eksekusi proyek," tuturnya. (ags/gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER