Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro telah menetapkan strata tarif pungutan dana penunjang kelapa sawit yang dikenakan berjenjang terhadap ekspor 42 produk turunan CPO. Hampir seluruh ekspor produk sawit, kecuali dalam bentuk tandan buah segar (TBS), dikenakan pungutan bervariatif dengan satuan tarif dolar Amerika Serikat.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 114/PMK.05/2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO fund), yang terbit dan berlaku per 15 Juni 2015.
(Baca: Menkeu Tetapkan 24 Komoditas jadi Objek Pungutan CPO Fund)
Namun dalam salinan PMK yang diterima CNN Indonesia, seluruh pelaku usaha perkebunan dan industri serta eksportir sawit wajib membayar CPO fund dalam mata uang rupiah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tarif Pungutan Dana Perkebunan atas Ekspor Kelapa Sawit, CPO, dan/atau Produk Turunannya yang dikenakan kepada pelaku usaha dan eksportir dibayar dalam mata uang Rupiah dengan nilai kurs yang berlaku pada saat pembayaran," tulis Menkeu dalam beleidnya.
Adapun nilai kurs akan ditetapkan Menkeu secara periodik, yang biasanya juga dijadikan dasar pembayaran pajak dan pungutan kepabeanan.
Dalam PMK tersebut, Menkeu secara tegas hanya mengatur soal CPO fund tanpa menyinggung soal bea keluar CPO. Padahal sebelumnya, Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) sudah meminta secara tertulis agar tidak ada pungutan ganda.
"Kami harapkan tidak jadi pungutan ganda dengan bea keluar (BK) dan untuk itu kami minta penegasan dari pemerintah," ujar Derom Bangun, Ketua DMSI di kantornya, Kamis (18/6).