Jakarta, CNN Indonesia -- Konsep pengusahaan makanan menggunakan kendaraan, atau biasa disebut
food truck kini memang tengah menjamur di Indonesia terutama di kota besar seperti Jakarta. Namun usaha beromzet tinggi ini juga menyimpan risiko usaha yang tak kalah tinggi dan kerap berujung pada bangkrutnya pemilik usaha.
"Memang usaha ini berprospek bagus, tapi 20 hingga 30 persen dari pengusaha
food truck biasanya gugur di dua bulan pertama operasional. Itu informasi yang kami himpun enam bulan lalu," jelas Ketua Asosiasi Food Truck Indonesia (AFTI) Joko Waluyo di Jakarta, Jumat (7/8).
Joko mengatakan, hambatan seperti perpecahan kongsi antar pemilik usaha hingga bahan baku yang sulit didapat karena kebijakan impor pemerintah kadang membuat pengusaha
food truck memutar otak untuk menangani masalah tersebut. Tak jarang, beberapa pengusaha tak kuat dan memutuskan untuk mengibarkan bendera di peta persaingan usaha
food truck.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tak berlebihan rasanya jika kami bilang kalau pengusaha
food truck ini harus memiliki mental kuat. Terlebih modal awal pembentukan perusahaan ini cukup besar dan size omzet memang tak bisa sebesar pengusahaan makanan lain ketika awal beroperasi,” jelasnya.
Sebagai gambaran, Joko menyebut omzet
food truck Tacombi yang dikelolanya bisa mencapai rata-rata Rp 5 juta per hari per kendaraan.
"Sebenarnya bisa saja kami membukukan Rp 12 juta dalam sehari, namun demi memenuhi hal itu harus bolak-balik ke pasar untuk suplai bahan baku. Sekitar 70 persen dari
cost usaha kami beratnya di bahan bakar apalagi mobil yang kami miliki berjenis Combi dan boros bahan bakar. Dan mobil kami pun mobil tua, sehingga kalau dipaksa beroperasi dengan membawa suplai berat, maka akan cepat rusak," tuturnya.
Sumber Daya ManusiaSelain itu, masalah sumber daya manusia juga menjadi hal krusial dalam operasi usaha ini. Ia berujar, banyak anggota asosiasinya yang kekurangan pegawai pasca hari raya Idul Fitri dan menyebabkan beberapa usaha
food truck tak mampu beroperasi.
"Selain itu, kadang ada juga pegawai yang suka berbuat cheating karena kami terkadang menggunakan tenaga kerja yang putus sekolah. Masalah-masalah seperti ini yang kadang membuat pengusaha
food truck tak tahan. Memang kalau ingin meneruskan usaha ini, perlu memiliki tekad yang kuat," jelas Joko.
Namun dengan arahan dari asosiasi, ia mengatakan bahwa pengusaha-pengusaha
food truck sudah bisa menghadapi masalah yang dihadapi pada masa awal beroperasi. Bahkan, ia mengklaim kalau jumlah pengusaha
food truck yang gulung tikar di awal-awal beroperasi sudah turun dibanding enam bulan lalu dan bisnis tersebut semakin memiliki prospek yang baik.
Sebagai bukti atas bisnis yang membaik itu, saat ini AFTI membawahi 35 usaha
food truck dari total 70 usaha yang beroperasi di Jakarta. Jumlah usaha ini, dikatakannya, meningkat sebesar 100 persen dari jumlah 30-an usaha
food truck yang terdata AFTI pada tahun lalu.
"Pertumbuhan itu merupakan bukti bahwa bisnis
food truck merupakan bisnis yang menjanjikan. Tak heran juga banyak pemain besar seperti Bakmi GM dan Chatime mulai merambah bisnis
food truck. Mereka pun sempat meminta untuk diikutsertakan dalam AFTI, tapi kami tolak baik-baik karena mereka pemain besar sedangkan kami kan pemain kecil," ujarnya.
Ia berharap, masyarakat yang ingin masuk ke usaha
food truck ini sudah paham akan risiko-risiko yang akan dihadapi dan tetap komitmen menjalankan usaha ini. "Selain itu, asosiasi pun juga siap membantu pengusaha
food truck apabila menemui kendala," tegasnya.
(gen)