Bali, CNN Indonesia -- Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) memperkirakan dana pendukung kelapa sawit (CPO
fund) yang terkumpul tahun depan mencapai Rp 9,6 triliun.
"Penerimaan kami dari CPO
fund adalah Rp 9,6 triliun untuk 2016 dan ya, saya pikir kita harus melihat kembali hal ini dan kita masih punya ruang untuk membuat penyesuaian," tutur Direktur Utama BPDP Bayu Krisnamurthi di acara Indonesia Palm Oil Conference 2015 (IPOC 2015) di Bali, kemarin.
Bayu mengungkapkan penyebab turunnya penerimaan selain karena turunnya produktivitas akibat fenomena el Nino, beberapa pelaku usaha ada yang mulai memperbanyak ekspor produk hilir. Pasalnya, produk hilir dikenakan pungutan dana sawit lebih rendah dibandingkan produk hulu seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/cpo).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi itu sejalan dengan strategi pemerintah yang mencoba untuk melakukan hilirisasi industri berbasis komoditas," tutur Bayu.
Mantan Wakil Menteri Pertanian ini menyebutkan sejak dipungut pertengahan Juli lalu, saat ini dana sawit telah terkumpul sekitar Rp 4 triliun.
Ditemui terpisah, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang menilai skema pungutan dana sawit diakuinya memberikan insentif bagi produsen untuk memproduksi produk hilir.
"Dari tahun ke tahun perbedaan crude (minyak sawit mentah) dengan
refinery (minyak sawit diolah) itu kan terus berubah. Kami sekarang memantau posisinya 75:25. 75
refinery, 25
crude dan itu bisa 80:20 memang tidak bisa sampai 0 ya karena banyak CPO juga yang dibutuhkan untuk diekspor," ujarnya.
Sementara itu CEO PT Triputra Agro Persada Arif Permadi Putra menyatakan perusahaannya belum akan memproduksi produk lanjutan CPO, seperti biodiesel, dalam waktu dekat. Pasalnya, perusahaan belum memiliki fasilitas pendukung terkait.
"Untuk bikin biodiesel perlu ada
refinery-nya dulu. Sementara,
refinery kita masih
over capacity dan butuh waktu lebih dari 12 bulan untuk jadi," kata Arif.
(gen)