Jakarta, CNN Indonesia -- Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dinilai tidak layak dikerjakan secara bisnis akibat periode balik modal (
payback period) yang terlalu lama bagi investor.
"Kalau bisnis transportasi itu jelas
payback period-nya. Masa proyek ini
payback period sampai 60 tahun. Biasanya di bisnis transportasi
payback period sekitar 6 hingga 7 tahun. Bahkan yang implementasi teknologi seperti
ridesharing itu lebih cepat, 3 hingga 4 tahun," ungkap Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy, Selasa (26/1).
Ichsanuddin menambahkan, yang perlu dikhawatirkan dari lamanya
payback period proyek kereta cepat adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baik yang tergabung dalam konsorsium atau bank penjamin akan menanggung lebih lama utang yang tercipta akibat proyek tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara bisnis ini tak layak, tetapi BUMN kan diperintah pemegang saham. Nanti risikonya mereka yang menanggung," tegasnya.
Ichsanuddin menyebut lebih tepat jika proyek kereta cepat tidak dilihat dari sisi bisnis transportasi namun sebagai bisnis properti karena akan hadirnya Kota Baru Walini seluas 2.900-an hektare di antara Jakarta-Bandung.
"Kereta cepat itu
supporting facility, utamanya ini pembangunan kota koridor Jakarta-Bandung, seperti Walini itu. Kemungkinan pemerintah diperalat oleh segelintir orang untuk mendukung bisnis properti," tegasnya.
Ditambahkannya, jika pemerintah benar-benar ingin memperkuat moda transportasi umum di Pulau Jawa maka seharusnya infrastruktur yang dikembangkan di daerah Selatan, bukan dengan terus menambah fasilitas wilayah Utara Jawa.
"Jawa bagian Selatan harusnya dikembangkan, bangun jalur kereta api Anyer-Banyuwangi misalnya. Lantas perkuat transportasi Aceh-Lampung, dan luar Jawa lainnya," katanya.
Tunda ProyekSecara terpisah, Anggota Komisi V DPR RI Nizar Zahro mendesak Kementerian Perhubungan menunda proyek kereta cepat walaupun sudah ada Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 yang menjadi payung hukum pengerjaannya dengan beberapa alasan.
Pertama, agar mematuhi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, agar mematuhi PP Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
“Ketiga, proyek itu akan menjadi beban keuangan negara dengan pinjaman dari China sebesar Rp79 triliun yang di angsur selama 60 tahun,” ujar Nizar.
Keempat, Nizar menilai proyek tersebut kurang bermanfaat karena hanya melayani penumpang pada lintasan sepanjang 141 kilometer (km) dan agak bertentangan dengan konsep Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan membangun tol laut.
“Kemudian, eksodus pekerja lokal dari China akan bisa menghilangkan kesempatan pekerjaan bagi penduduk lokal karena ini pasti syaratnya adalah juga melibatkan pekerja dari China,” jelasnya.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Hermanto Dwiatmoko menegaskan tidak akan mengeluarkan izin pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung apabila PT Kereta Api Cepat Indonesia China (PT KCIC) belum memiliki izin usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum.
"Izin pembangunan tidak bisa keluar kalau izin usaha tidak keluar. Saya tidak bisa mengeluarkan izin pembangunan karena ini penting," katanya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 66 Tahun 2013, setidaknya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum.
Syarat tersebut di antaranya, sudah memiliki izin trase, badan usaha yang mengerjakan proyek sudah memiliki izin penyelenggara prasarana kereta api, memiliki rancangan teknis, dan perjanjian penyelenggaraan prasana kereta (konsesi). Hingga saat ini, konsesi belum dilakukan oleh manajemen KCIC.
(gen)