Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Dunia memangkas proyeksi harga minyak mentah pada 2016 menjadi US$37 per barel, dari proyeksi Oktober 2015 yang mencapai US$51 per barel karena memprediksi adanya pasokan minyak yang berlebih.
Dalam World Commodity Markets Outlook 2016, Bank Dunia mengungkapkan prediksi harga yang rendah tersebut juga disebabkan ekspor minyak yang lebih cepat oleh negara Iran, besarnya produksi minyak mentah yang dihasilkan Amerika Serikat guna mengantisipasi musim dingin di belahan utara Hemisphere, dan prospek pertumbuhan yang lema di negara-negara ekonomi berkembang (
emerging market).
Harga minyak mentah dunia sendiri telah jatuh 47 persen di tahun 2015 dan telah anjlok 27 persen sejak awal tahun 2016. Namun, dari posisi terendah mereka saat ini, pemulihan bertahap harga minyak diperkirakan akan terjadi selama tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Bank Dunia menyebutkan ada beberapa faktor yang mampu mengerek naik harga minyak mentah dunia tahun ini. Pertama, adanya titik keseimbangan baru dalam permintaan dan penawaran minyak mentah dunia.
Kedua, adanya kemungkinan sejumlah blok perdagangan minyak mentah dunia yang menahan produksinya akibat mahalnya biaya prouksi. Dan yang ketiga permintaan akan minyak mentah dunia diprediksi akan menguat seiring dengan tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara importir minyak.
Namun pemulihan harga minyak diperkirakan tidak akan sedrastis dibandingkan dengan penurunannya. Bank Dunia tidak menutup kemungkinan harga minyak metah dunia berisiko terjun bebas lagi.
"Harga rendah untuk minyak dan komoditas cenderung menjadi perhatian kami. Sementara kami melihat prospek beberapa harga komoditas naik sedikit selama dua tahun ke depan, disertai risiko penurunan yang tetap signifikan," kata John Baffes, Ekonom Senior dan penulis utama dari World Commodity Markets Outlook dikutip Kamis (28/1).
Di luar pasar minyak, semua indeks harga komoditas utama diperkirakan turun pada tahun 2016 akibat pasokan yang terus-menerus dan melemahnya permintaan di negara-negara emerging market. Dari 46 komoditas yang dimonitor Bank Dunia, terdapat 37 komoditas yang mengalami pemanglasan proyeksi harga.
Bank Dunia menyebut, sejak tahun 2000 negara-negara emerging market merupakan sumber utama dari permintaan komoditas dunia. Tak heran jika perlambatan ekonomi negara-negara
emerging market turut mempengaruhi anjloknya harga komoditas dunia.
Apabila ekonomi negara berkembang utama tersebut melambat, maka secara otomatis akan turut menyeret turun pertumbuhan ekonomi negara mitra dagangnya dan mengurangi permintaan komoditas global.
"Harga komoditas rendah adalah pedang bermata dua, di mana konsumen di negara-negara pengimpor memperoleh manfaat, sementara produsen di negara-negara pengekspor menderita," kata Ayhan Kose, Direktur Prospek Pembangunan Grup Bank Dunia.
(gir)