Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah membidik aktivitas ekspatriat yang berstatus turis tetapi berbisnis di Indonesia demi menegakkan ketaatan pajak dan memaksimalkan penerimaan negara.
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengungkapkan jajarannya tidak akan segan menindak ekspatriat yang melanggar ketentuan perpajakan di Indonesia.
"Tahun ini merupakan tahun penegakan hukum. Artinya, kami tidak akan segan-segan melakukan law enforcement terhadap Wajib Pajak yang dianggap belum comply atau yang melakukan kesalahan," ujar Bambang di Kantor DJP di Jakarta, Rabu (6/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang mengungkapkan, modus yang digunakan berupa menjalankan usaha jasa yang tidak sesuai ketentuan. Sebagai contoh, lanjut Bambang, saat ini cukup banyak praktik jasa kesehatan dan kecantikan, khususnya di Jakarta, yang diberikan oleh orang asing meskipun status kunjungannya hanya sebagai turis.
Kendati menerima pendapatan atas jasa yang diberikan, ekspatriat itu tidak terdaftar sebagai Wajib Pajak (WP) sehingga terhindar dari kewajiban pajak.
"Dari kami di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), khususnya pajak, jelas kegiatan itu tidak akan masuk kategori perusahaan yang akan bayar pajak karena dia datang seolah sebagai turis biasa tapi bekerja, dapat, klien, dapat uang," ujarnya.
Sebagai bukti ketegasannya, Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus tengah memeriksa PT RMI. Perusahaan ini diduga dengan sengaja tidak melaporkan usahanya sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) dari perusahaan jasa kesehatan/perawatan yang berbasis di Singapura.
"PT RMI ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konsultasi kesehatan, pemasaran produk kesehatan, dan membantu pasien yang mau berobat ke rumah sakit yang telah disediakan perusahaan yang kebetulan kedudukannya ada di Singapura," ujarnya.
PT RMI telah terdaftar sebagai Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dan memiliki kantor perwakilan di Jakarta, Solo, Surabaya, dan Semarang.
Pada tahun 2014, PT RMI memiliki omzet sebesar Rp2,18 miliar padahal memiliki utang Rp20,4 miliar rupiah. Utang itu berasal dari pemilik atau afiliasi.
Karena tidak terdaftar sebagai BUT di Indonesia, PT RMI tidak melakukan pembayaran pajak atas penghasilan dari jasa yang diperoleh di Indonesia. Pembayaran pajak atas penghasilan tersebut dibayarkan di Singapura.
Selain itu, HSH seorang warga negara Indonesia (WNI) pemegang saham rekanan RMI Singapura di Indonesia juga tidak melaporkan SPT pembayaran pajak PPh atas Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) sejak 2008-2016.
"Di sinilah penyebab kenapa pembayaran pajak WPOP di Indonesia kecil sekali orang-orang yang sudah jelas berusaha tetapi tidak pernah submit SPT apalagi nyetor pembayaran pajaknya," ujarnya.
Selain PT RMI, DJP juga tengah memeriksa empat unit usaha perusahaan sosial media Yahoo, Google, Facebook, dan Twitter.
Sebagai informasi, BUT atau Permanent Establishment (PE) sesuai Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia.
BUT bisa berupa tempat kedudukan management, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gufang, ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, hingga pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
(gir)