Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun ini kelompok Bank Perkreditan Rakyat (BPR) harus lebih hati-hati dalam menjalankan aktivitas usahanya, akibat tingkat rasio kredit bermasalah (
nonperforming loan/NPL) yang tinggi kembali mengancam penyaluran kredit BPR.
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) seperti dilansir Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, rasio NPL BPR pada Januari 2016 meningkat nyaris menyentuh 6 persen. Realisasi itu jauh di atas batas maksimum yang ditetapkan Bank Indonesia (BI), yaitu maksimal 5 persen.
Akhir tahun lalu saja rasio NPL BPR sudah menyentuh angka yang cukup mengkhawatirkan yakni 5,37 persen. Pencapaian ini merupakan level tertinggi dalam lima tahun terakhir, setelah 4,75 persen pada 2012, lalu 4,41 persen pada 2013 dan 4,75 persen pada akhir 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara nilai, kredit macet industri BPR mencapai Rp4,43 triliun sampai Januari 2016. Angka itu terdiri dari Rp2,31 triliun masuk kategori kredit macet, Rp1,12 triliun kredit kurang lancar, dan Rp902 miliar yang statusnya diragukan.
Sementara, total kredit yang disalurkan BPR sebesar Rp74,76 triliun sampai akhir Januari 2016. Realisasi ini cenderung turun kalau dibandingkan dengan posisi Desember tahun lalu sebesar Rp74,8 triliun.
Hiras Lumban Tobing, Direktur BPR Bekasi Binatanjung Makmur menjelaskan tren perlambatan pertumbuhan kredit industri BPR karena pelaku lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Upaya ini sekaligus untuk meningkatkan kualitas kredit.
"BPR Bekasi Binatanjung Makmur sendiri sudah dua tahun terakhir ini fokus membenahi kredit bermasalah. Sehingga, kami tidak terlalu getol dalam ekspansi kredit," jelas Hiras kepada CNNIndonesia.com, Kamis (7/4).
Alhasil, NPL BPR Bekasi Binatanjung Makmur menciut dari 11 persen (gross) pada 2014 lalu menjadi hanya 8 persen pada akhir tahun lalu. "Hingga Maret 2016, NPL kami sudah terjaga pada level 4 persen," ujarnya.
Hiras menegaskan, pihaknya tengah fokus melakukan
remedial collection. Ini merupakan upaya perseroan dalam membenahi kredit-kredit bermasalah dengan berbagai cara, mulai dari restrukturisasi, lelang hingga melakukan gugatan.
"Kalau dulu, kami melakukan penindakan setelah kreditnya bermasalah. Sekarang kami ubah, kami beri peringatan bertahap untuk setiap keterlambatan. Kami menargetkan kredit bermasalah dibawah 3 persen," terang Hiras.
(bir/gen)