Jakarta, CNN Indonesia -- Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berpotensi membengkak menjadi 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun depan seiring dengan meningkatnya kebutuhan belanja prioritas.
Guna meredam risiko pelebaran defisit fiskal, Kementerian Keuangan mendorong moratorium pembangunan kantor pemerintahan baru pada tahun depan.
"Ini masih perencanaan awal untuk penganggaran 2017. Defisit anggaran (kemungkinan) 2,3-2,6 persen terhadap PDB," ujar Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo pada acara Musyawarah Perencanaan pembangunan (Musrenbang) di Jakarta, Rabu (20/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mendukung percepatan pembangunan, Mardiasmo mengatakan pemerintah akan memperluas basis pajak pada tahun depan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui penegakan hukum ( law enforcement). Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga akan mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terutama yang bersumber dari sumber daya alam (SDA) non minyak dan gas.
Hemat Belanja
Pada kesmepatan itu, Mardiasmo mengingatkan seluruh kementerian dan lembaga (K/L) serta pemerintah daerah untuk menyinergikan postur APBD dengan APBN. Fokus penganggaran tahun depan lebih diarahkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
"Belanja barang ada yang mengikat dan ada yang mendukung. Selama bisa dipertanggungjawabkan tidak apa-apa (dipakai), tapi kalau hanya untuk dihabiskan mungkin bisa dikurangi," tuturnya.
"Termasuk belanja modal yang non infrastuktur, misalnya dengan melakukan moratorium pembangunan gedung kantor. Sudah saatnya dikurangi, arahkan ke belanja modal untuk masyarakat luas," lanjut Mardiasmo.
Terkait transfer anggaran ke daerah, Mardiasmo menekankan pentingnya singkronisasi penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara terpadu antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota.
"Bisa tidak gubernur memadukan DAK di kabupaten/kota agar sinkron? Supaya nyambung. Gubernur adalah kordinator di kabupaten/kota masing-masing," tuturnya.
Mantan Ketua BPKP itu mengingatkan kembali arahan presiden soal percepatan pembangunan infrastruktur. Intinya, belanja-belanja yang prioritas harus didorong, sedangkan yang sifatnya bukan untuk mendanai infrastruktur harap dikurangi.
"Salah satu reformasi yang juga ditekankan (presiden) adalah reformasi anggaran, kalau perlu revolusi anggaran," jelasnya.
Untuk itu, lanjutnya, paradigma yang keliru soal pemerataan anggaran harus diubah berdasarkan skala prioritas. Karenanya, tidah harus selalu anggaran diterima sama oleh setiap kuasa pengguna anggaran.
"Harus ada fokus prioritasnya apa. Setiap provinsi punya ciri khas, fokus, prioritas, dan berorientasi pada kepentingan publik. Sehingga betul-betul
money follows program dan priorities," katanya.
(ags/gen)