Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menyetop penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Khusus bagi
smelter timah demi menghentikan penambahan pabrik pengolahan baru komoditas tambang tersebut.
Inspektur Jenderal Kementerian ESDM Mochtar Husein mengatakan kebijakan tersebut perlu dilakukan setelah hasil audit
smelter timah yang dilakukan Kementerian ESDM di Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Kepulauan Riau, menunjukkan adanya penurunan kapasitas produksi
smelter timah di kedua daerah itu.
Menurut audit yang dilakukan oleh instansinya, kapasitas
smelter peleburan timah (tanur) hanya digunakan sebanyak 20,73 persen dari total kapasitas terpasang yang mencapai 340.630 ton per tahun pada 2015 lalu. Angka ini merosot dibandingkan tahun sebelumnya, di mana kapasitas
smelter timah masih digunakan 21,74 persen dari kapasitas terpasang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami akan bicarakan dulu hasil sementara untuk susun langkah berikutnya. Apakah kalau kapasitas
smelter terpasang hanya terpakai 21 persen perlu membangun
smelter baru?" jelas Mochtar di Jakarta, Selasa (17/5).
Selain di proses peleburan timah, penurunan kapasitas juga terjadi pada proses pemurnian (
refining) timah. Audit Kementerian ESDM mencatat, kapasitas terpasang
refining timah pada 2015 hanya sebesar 20,82 persen dari total kapasitas 339.186 ton per tahun.
Kendati demikian, ia mengatakan wacana ini merupakan kesimpulan singkat mengingat pengolahan audit dilakukan dengan data yang sangat terbatas. Pasalnya, Kementerian ESDM tidak mengikutsertakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang memiliki data Izin Usaha Industri (IUI) pengusahaan
smelter.
"Karena data ini tanpa melibatkan Kemenperin akhirnya ada data tentang perizinan
smelter yang tidak kami peroleh. Begitu pun dengan Pemerintah Daerah, kami tidak bisa leluasa masuk ke industri
smelter karena ada batasan tertentu," terangnya tanpa memberitahu jenis hambatan yang dimaksud.
Mochtar menambahkan, audit ini dilakukan terhadap 47 perusahaan
smelter. Sebanyak 29
smelter, atau 61,7 persen, merupakan
smelter yang masih aktif sedangkan 18 sisanya sudah tidak beroperasi lagi. Dengan kata lain, angka observasi dan kesimpulan audit ini bisa berubah jika Kemenperin sudah memberikan datanya.
"Audit ini masih akan kami sempurnakan, dan akan kami bicarakan terus dengan berbagai pemangku kepentingan terkait," sambungnya.