Ratifikasi FCTC Hanya Batasi, Bukan Larang Konsumsi Rokok

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Rabu, 01 Jun 2016 09:20 WIB
WHO menepatkan Indonesia di urutan ke-28 negara surga rokok di dunia, dengan jumnlah perokok aktif sebanyak 60 juta oran atau 36 persen dari total penduduk.
Remaja memegang stiker anti rokok yang dibagikan aktifis saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di kawasan Sudirman, Jakarta, Minggu, 31 Mei 2015. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFEUI) menegaskan Indonesia harus merativikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) karena konsumsi rokok di Tanah Air sudah sangat meresahkan  dan membahayakan publik. Namun, LDFEUI menegaskan ratifikasi FCTC hanya untuk membatasi konsumsi rokok dan bukan untuk melarang total orang merokok.

"Kami mendukung ratifikasi FCTC untuk mencegah orang untuk merokok. Bukan untuk melarang total, tidak mungkin, karena di UU Cukai rokok itu barang yang legal untuk dikonsumsi dan banyak juga orang yang bekerja di industrinya," ujar Wakil Kepala LDFEUI Abdillah Ahsan kepada CNN Indonesia,

Abdillah menilai persoalan konsumsi rokok di Indonesia saat ini sudah sangat memprihatinkan. Pasalnya, dalam dua dekade terakhir atau sejak 1995 jumlah perokok di Indonesia meningkat pesat, di mana mayoritas merupakan kalangan remaja dan masyarakat miskin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengutip catatan Kementerian Kesehatan,  jumlah perokok di Indonesia saat ini mencapai 90 juta jiwa, yang merupakan terbanyak di dunia.

"Berdasarkan jenis kelamin, jumlah perokok laki-laki meningkat 67 persen dari tahun 1995 , sedangkan perokok perempuan meningkat 4 persen," jelas Abdillah.

Untuk perokok remaja atau berusia antara 15-19 tahun, kata Abdillah, terjadi pertumbuhan sekitar 30 persen dalam 20 puluh tahun terakhir. Khusus untuk perokok remaja pria, diperkirakan jumlahnya saat ini sudah lebih dari separuh jumlah total perokok di Indonesia.

Menurutnya, konsumsi rokok perlu dibatasi karena erat kaitannya dengan kemiskinan. Pasalnya, pengeluaran untuk rokok merupakan yang terbesar kedua bagi masyarakat miskin.  

Untuk itu, ia menyimpulkan cara paling mudah dan murah untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan mengurangi konsumsi rokok. Dengan demikian, pendapatan yang diteriuma orang miskin bisa dipriritaskan untuk membeli beras atau bahan pangan lain yang bisa menambah kalori.

"Rokok itu, sudah menjerat orang miskin, buat orang sakit pula," katanya.

Dia menambahkan, LDFEUI punya misi untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang sehat dan berkualitas di masa depan. Karenanya, konsumsi rokok harus ditekan agar tidak semakin banyak generasi muda yang terkontaminasi oleh efek negatif dari kecanduan nikotin. 

"Kita punya potensi bonus demografi yang besar. Kami tidak mau itu jadi bencana demografi di masa depan," tegasnya.

Sebelumnya, Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menolak usulan ratifikasi FCTC karena sudah bergeser maknanya dari yang awalnya pengendalian menjadi pelarangan total. Usulan ratifikasi ini diyakini bakal merugikan sekitar 6,5 juta penduduk Indonesia yang selama ini bergantung hidup pada kelangsungan industri tembakau.

Berdasarkan penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 36 persen atau 60 juta penduduk Indonesia merupakan perokok aktif. Dengan rata-rata konsumsi sebanyak 1.085 batang per kepala per tahun, Indonesia menempati urutan ke-28 negara dengan konsumsi terbesar di dunia. Pada tahun 2025, jumlah perokok di Negeri ini diprediksi bertambah menjadi 90 juta orang. (ags)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER