Jakarta, CNN Indonesia -- Survei Pricewaterhouse Coopers (PwC) menyebutkan, peraturan atau regulasi yang dikeluarkan pemerintah atau otoritas terkait menjadi risiko terbesar yang harus dihadapi oleh industri asuransi Tanah Air dalam dua atau tiga tahun mendatang.
Sementara, kondisi pasar seperti makro ekonomi, tingkat bunga, saluran distribusi, sumber daya manusia (SDM), risiko kejahatan siber (cyber crime), tingkat bunga, serta investasi menyusul di peringkat selanjutnya.
"Regulasi jadi risiko terbesar. Itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Itu menjadi hal utama yang perlu diperhatikan di seluruh dunia. Namun, tak perlu diinterpretasikan sebagai sesuatu hal negatif," imbuh Jusuf Wibisana, Financial Services Partner PwC Indonesia, Selasa (31/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini, aturan-aturan yang menjadi fokus industri asuransi dalam negeri adalah peraturan perpajakan, batasan kepemilikan asing dalam suatu perusahaan asuransi hingga batasan modal minimum perusahaan asuransi. Dua peraturan di antaranya sedang digodok oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Survei dilakukan dengan responden yang didominasi oleh eksekutif perusahaan asuransi di Tanah Air. Dalam survei tersebut, para responden berharap, regulasi yang diterbitkan akan terang benderang bagi perkembangan bisnis asuransi dan memiliki masa transisi yang cukup untuk industri melakukan penyesuaian.
Para responden ini, lanjut Jusuf, ingin regulasi yang lahir mendukung tumbuh kembang industri asuransi dalam negeri. Karena tidak dapat dipungkiri, ada juga beberapa regulasi yang dinilai bersifat menghambat.
Padahal, David Wake, Financial Services Leaders PwC menambahkan, ceruk pasar industri asuransi masih sangat besar. Hal ini tercermin dari rendahnya penetrasi pasar kepemilikan masyarakat Indonesia terhadap produk asuransi, baik asuransi jiwa maupun asuransi umum.
Sebagai informasi, belum lama ini, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melansir data pertumbuhan premi asuransi umum yang tercatat melambat. Yakni, tumbuh tipis empat persen menjadi Rp14,52 triliun pada kuartal I 2016 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Di industri asuransi jiwa, Togar Pasaribu, Pelaksana Tugas Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) memprediksi, pertumbuhan premi asuransi jiwa bisa mencapai 22 persen. Pencapaian ini jauh lebih tinggi dari estimasi awal yang hanya sebesar 10 persen.