Riant Nugroho
Riant Nugroho
Pendiri dan Partner, Institute for Policy and Administrative Reform. Pengajar Kebijakan Publik di Universitas Indonesia dan Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.

Rasionalisasi PNS dan 3 Kesalahan Menteri PAN-RB

Riant Nugroho | CNN Indonesia
Selasa, 07 Jun 2016 19:30 WIB
Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi melakukan salah pikir, salah komunikasi, dan salah tindak ketika merancang dan mengumbar rencana rasionalisasi 1 juta PNS.
Sejumlah peserta Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari kalangan pemerintah kota Salatiga berlari regu saat mengikuti lomba Peraturan Baris Berbaris (PBB) di halaman Kantor Pemerintah Kota Salatiga, Salatiga, Jateng, Selasa (25/11). (Antara Foto/Aloysius Jarot)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menyampaikan kepada publik rencana merasionalisasi 1 juta PNS. Rasionalisasi PNS dimulai pada 2016 sampai 2019 dan berlanjut hingga 2024. Diperkirakan ada sekitar 300 ribu PNS terkena.

Pemetaan PNS tersebut sudah dimulai tahun 2016 dan berjalan hingga 2019. Dalam kurun itu akan ada sekitar 500 ribu PNS yang pensiun. Penggabungan 76 lembaga juga mengubah jumlah PNS yang bekerja. Paling tidak 1 juta PNS akan dirasionalisasi

Alasan pertama, menghemat 5 persen anggaran atau Rp35 triliun dari total belanja pegawai dan pensiun pada APBN 2015 sebesar Rp707 triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kementerian PAN-RB menargetkan penurunan belanja pegawai secara nasional dari 33,8 persen menjadi 28 persen dari total APBN/APBD selama rentang waktu 2015-2019. Dana penghematan itu disebut-sebut bisa untuk mendanai pembangunan pembangkit listrik.

Kementerian PAN-RB mencatat saat ini total PNS di seluruh Indonesia sebanyak 4,5 juta orang. Sebagian besar PNS tersebut tersebar di 244 kabupaten/kota dan menyebabkan anggaran belanja pegawai membengkak hingga di atas 50 persen atau lebih besar dari belanja publik.

Untuk memperbaiki keseimbangan belanja pemerintah pusat dan daerah agar tercipta ruang fiskal yang lebih besar untuk belanja publik, alokasi belanja pegawai harus dipangkas sekitar 5 persen.

Alasa kedua adalah menciptakan rasio ideal. Kementerian PAN-RB menyampaikan bahwa rasionalisasi dilakukan hingga jumlah PNS mencapai rasio 1,5 persen dari jumlah populasi atau 3,5 juta. Berdasarkan kajian Kementerian PAN dan RB, kini rasio PNS berada di kisaran 1,77 persen dari populasi. Kementerian mengemukakan bahwa China yang jumlah penduduknya satu miliar, PNS-nya hanya 4 juta.  

Ketiga, jumlah PNS sebanyak 4,5 juta dianggapnya terlalu banyak. Kementerian ini menyampaikan bahwa China telah berhasil menurunkan jumlah pegawai dalam tiga tahun, dari 1997 sampai 2000. Penurunan ini dimulai dengan penataan kelembagaan, yakni pengurangan sekitar 30 persen lembaga di tingkat pusat dan 20 persen lembaga di tingkat provinsi.

China berhasil mengurangi 47 persen jumlah pegawai negerinya, dari sekitar 8 juta menjadi 4 juta pada 2000. Secara prinsip program rasionalisasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Kesalahan Kebijakan

Ada tiga jenis kesalahan kebijakan yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin pemerintah. Pertama, salah pikir. Konsekuensinya adalah, kebijakan yang dihasilkan ruwet, tidak jelas, dan membawa konflik. Kesalahan

kedua, salah komunikasi atau salah ucap, baik salah di pesannya, media komunikasinya, ataupun waktu penyampaiannya. Konsekuensinya, kebijakan disalah-tasirkan, tidak dimengerti, dan menciptakan kegelisahan baru.

Kesalahan ketiga, salah tindak atau salah melaksanakan. Konsekuensinya, sudah bekerja keras, tetapi hasilnya tidak pernah dicapai. Dicapai pun hanya parsial. Tidak komprehensif seperti harapan.

Apa yang terjadi di Kementerian PAN-RB adalah ketiga kesalahan tersebut terjadi serentak.

Salah pikir, karena borosnya anggaran untuk pembiayaan PNS adalah kesalahan kebijakan Pemerintah sendiri, bukan kesalahan PNS. Sehingga yang dihukum seharusnya adalah kebijakan dan pembuat kebijakannya. Kebijakan “menyenangkan” PNS dengan “melejit” tunjangan di sejumlah Kementerian dan daerah, seperti di Kementerian Keuangan dan DKI Jakarta, menjadi pemicu lomba menaikkan  gaji dan tunjangan PNS.

Berikutnya adalah pembiaran pemekaran provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, hingga kelurahan mempercepat pertambahan populasi PNS dan pekerja magang di birokrasi. Selanjutnya, kebijakan khusus menempatkan 2 orang “konsultan humas” di setiap kementerian dengan gaji Rp 20 juta per bulan.

Selanjutnya, penambahan secara eksesif organisasi non-stuktural, seperti Komnas-Komnas, Dewan-Dewan, dan Badan-Badan,yang diisi oleh pejabat-pejabat asal swasta dan PNS dengan insentif yang luar biasa, yang dambil dari APBN.

Salah ucapan adalah masalah rasio ideal. Hari ini belum ada kesepakatan rasio ideal.

Di Indonesia, rasio jumlah PNS  dibandingkan populasi penduduk di Indonesia adalah 1,9 persen. Artinya setiap 100 orang penduduk indonesia, hanya ada 1-2 orang PNS yang melayaninya. Thailand 1,9 persen, Malaysia 3,7 persen, Singapura 2,5 persen, Filipina 2,9 persen, Brunei Darussalam 11,4 persen. Rasio di bawah 2 persen atau kurang, sesuai untuk negara dengan geografis daratan dan luas terbatas.

Indonesia adalah negara dengan 13.466 pulau yang terdaftar dan berkoordinat. Menyebutkan rasio ideal 1,5 persen adalah gegabah.

Bagaimana dengan China? Disebutkan bahwa PNS China berjumlah 4 juta tahun 2000. Penelitian John P. Burns (Civil Service Reform in China, 2007) menemukan bahwa terdapat 69,2 juta pekerja di sektor publik China, yakni sebanyak 33,8 juta merupakan pegawai BUMN dan 35,4 juta pegawai pemerintahan.

Apabila dirinci lagi, sebanyak 2,5 juta pegawai pemerintah China merupakan tentara dan yang terbesar adalah PNS sebanyak 32,9 juta. Dari jumlah tersebut, yang bekerja di pemerintah pusat hanya sebanyak 2 juta pegawai dan sisanya 31 juta mengabdi ke Pemda.

Barangkali, Kementerian PAN-RB perlu melakukan pengecekan lebih cermat perihal data yang hendak dijadikan komparasi.Terlebih, sulit dibayangkan 1 milyar jiwa dilayani hanya oleh 4 juta jiwa.

Selain  itu, mengemukakan bahwa rasionalisasi untuk menambah uang untuk investasi listrik bukanlah bentuk komunikasi yang tepat bagi Menteri PAN. Pertama, itu menyakitkan, karena gara-gara kebijakan energi atau kelistrikan yang tidak prima, PNS dikorbankan. Kedua, investasi infrastruktur kelistrikan Indonesia memang sejak awal sudah salah kebijakan, sehingga bukan tugas Menteri PAN-RB menjadi penyelamatnya.

Salah tindak adalah dengan menyampaikan aksi kebijakan kepada publik tanpa koordinasi dengan Kementerian terkait, sehingga tidak cukup jelas bagaimana kebijakan ini dapat dilaksanakan.

Saya diberi kiriman matriks simulasi rasionalisasi, yang secara keilmuan sulit dipertanggungjawabkan. Padahal, kebijakan yang baik harus didasarkan kepada keilmuan yang baik, karena ilmu adalah kodifikasi praktek terbaik sebelumnya. Ilmu membuat kita tidak membuat kesalahan yang sama yang pernah dilakukan orang lain di tempat berbeda dan waktu berbeda.

Lalu Bagaimana?

Pernyataan kebijakan publik dari pejabat publik di depan publik adalah salah satu bentuk kebijakan publik (Nugroho, 2013, Public Policy). Karena itu, seorang pejabat publik disarankan untuk selalu cermat dan bijaksana dalam memberikan pernyataan.

Secara politik, kebijakan Menteri PAN-RB cenderung kontra-produktif, karena secara tidak disadari membuat pemisah antara Presiden Jokowi dan PNS. Tatkala Presiden memerlukan dukungan PNS, tatkala itu, muncuk kegelisahan baru.

Memang, ada sejumlah PNS yang tidak dapat bekerja dengan baik, tetapi membangun manusia PNS memang tugas Menteri PAN-RB. Memberhentikan PNS juga tidak semudah memberhentikan pegawai perusahaan. Biaya memberhentikan, golden handshake, tidak pula boleh menjadi beban tambahan APBN.

Jadi, bagaimana? Ada tiga solusi disarankan.

Pertama, Menko PMK, Puan Maharani atau Menko Polhukam, Luhut Panjaitan, membantu Menteri PAN-RB dengan menyetop polemik dan mengatakan Pemerintah akan melakukan kajian ulang. Kebijakan ini perlu dilakukan, karena Kementeri PAN-RB sudah terlajur sulit untuk menarik kembali kebijakannya. Jadi, Menko pimpinannya perlu membantu menenangkan. Tenggat waktunya adalah kurang dari seminggu dari keputusan rehabilitasi kebijakan.

Kedua, Kementerian membentuk sebuah tim independen untuk mengaudit birokrasi dan menemukan solusi. Tenggat waktunya adalah 3 bulan.

Ketiga, membangun kebijakan manajemen SDM Birokrasi yang baru yang diperlukan untuk menunaikan visi Nawa Cita Presiden Jokowi. Tenggat waktunya adalah satu bulan setelah rekomendasi disampaikan. (ags)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER