Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaku usaha memberikan komentar beragam terkait implementasi penghapusan modal dasar dalam membentuk badan usaha Perseroan Terbatas (PT), yang tercantum di dalam Peraturan Pemerintah (PP) no. 29 tahun 2016.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi Lukman menjelaskan, kini setiap masyarakat bisa memulai usaha tanpa harus risau memperhatikan modal minimal. Hal itu, tambahnya, bisa memperbaiki kinerja investasi di sektor makanan dan minuman ke depannya.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), penanaman modal di sektor makanan dan minuman tercatat di angka Rp43,5 triliun sepanjang tahun 2015. Capaian tersebut menurun 18,4 persen dari posisi tahun sebelumnya dengan angka Rp53,4 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami lihat itu juga sebagai dukungan yang bagus bagi investasi. Artinya semakin mudah masyarakat memulai usaha," jelas Adhi, Rabu (10/8).
Ia melanjutkan, kebijakan tersebut juga dianggap mampu mendongkrak indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business), utamanya di indikator Starting a Business. Kendati demikian, Adhi mengatakan penghapusan modal minimal tidak signifikan dalam meningkatkan peringkat Indonesia di dalam indeks yang disusun Bank Dunia tersebut.
Adhi menjelaskan, pemerintah seharusnya tetap fokus dalam mengurangi banyaknya perizinan yang diperlukan dalam memulai usaha. Ia mencontohkan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Gangguan (HO) masih diminta di tingkat daerah, meski pemerintah pusat meminta kedua izin tersebut digabung ke dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Perizinan seperti itu, tambahnya, tidak bisa dibenahi BKPM karena terhalang Undang-Undang (UU) no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Padahal, mudahnya birokrasi menjadi salah satu insentif utama dalam memulai usaha.
"Modal dasar itu bukan titik kritis, karena persyaratannya tidak berat juga. Semua orang bisa buka usaha. Tapi yang paling penting, pemerintah mau mengurus izin-izin yang menghambat investasi," tuturnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Harijanto juga mengaku senang atas terbitnya peraturan ini. Namun menurutnya, ketentuan modal dasar sebetulnya tidak begitu berpengaruh terhadap industri persepatuan.
Pasalnya, sebagian besar investasi di sektor ini berjenis Penanaman Modal Asing (PMA) dengan modal yang banyak, karena membutuhkan tanah dan tenaga kerja yang banyak. Ia mencontohkan, satu pabrik sepatu biasanya membutuhkan dana minimal Rp650 miliar hingga Rp1,3 trilun (US$50 juta hingga US$100 juta).
"Saya justru belum mendengar aturan ini. Tapi, seharusnya bagi kami itu tidak berpengaruh begitu banyak, ibaratnya bangun industri sepatu kan tidak bisa di bawah Rp50 juta," ujarnya.
Sebagai informasi, pemerintah menghapus batas minimum modal dasar pembentukan PT dari yang sebelumnya ditetapkan paling sedikit Rp50 juta menjadi disesuaikan dengan kesepakatan para pendiri perusahaan.
Keringanan ini tidak hanya terbatas pada pembentukan PT dengan kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), tetapi juga berlaku secara umum untuk berbagai skala bisnis perseroan. Kendati demikian, pemerintah tetap mewajibkan PT menempatkan atau menyetor modal dasarnya minimal 25 persen.
(gir)