Ditjen Pajak Diminta Evaluasi Aturan PPh Sektor Jasa Logistik

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Selasa, 16 Agu 2016 07:05 WIB
Direktorat Jenderal Pajak paling lambat 5 Agustus 2016 sudah menuntaskan permasalahan kewajiban PPh 23 di lima sektor jasa logistik dan biaya tambahan e-faktur.
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Gubernur BI Agus Martowardojo (kiri) menyimak paparan Menko Perekonomian Darmin Nasution (kanan) di Istana Negara. (Antara Foto/Yudhi Mahatma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan diminta mengkaji ulang penetapan empat sektor jasa transportasi dan logistik, yang selama ini masuk dalam daftar sektor usaha yang wajib menyetor Pajak Penghasilan Pasal 23.

Kelima sektor usaha jasa yang dimintakan pengecualian PPh Pasal 23 adalah pengurusan transportasi, logistik, pengurusan dokumen, pengangkutan atau ekspedisi.


Untuk itu, Satuan Tugas (Satgas) Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi yang dimpimpin oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution telah memberikan tenggat waktu bagi DJP untuk mengevaluasi kebijakan PPh Pasal 23 hingga 5 Agustus 2016.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adapun beleid yang wajib dievaluasi adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Hal itu terungkap dalam laporan tertulis Satgas Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi, yang dipaparkan Darmin Nasution di hadapan Presiden Joko Widodo pada awal Agustus.

Dalam keterangannya, Darmin menjelaskan, permintaan evakuasi PMK Nomor 141/PMK.03/2015 merupakan permohonan dari wajib pajak di sektor usaha terkait, yang menganggap kebijakan tersebut telah meningkatkan beban administrasi yang besar dalam bukti potong. Pasalnya, transaksi dari perusahaan jasa pengurusan transportasi biasanya bernilai kecil namun transaksinya bisa mencapai ribuan.

"Dengan adanya PMK dimaksud, seluruh operator terminal mengharuskan  perusahaan terlebih dahulu membayarkan seluruh jumlah tagihan, kemudian perusahaan harus membayarkan PPh Pasal 23 ke kantor pajak dengan dananya sendiri kemudian baru dimintakan kembali (refund) kepada operator terminal," jelas Darmin seperti dikutip dari salinan surat Laporan Perkembangan Pelaksanaan Kebijakan Deregulasi Ekonomi, yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (11/8).


Berdasarkan hasil pembahasan, Darmin mengatakan, keluar rekomendasi dari pemerintah untuk Kementerian Keuangan, khususnya DJP, agar membuat penegasan terkait kriteria objek pajak Pasal 23 dan Pasal 15 UU PPh.

Selain itu, lanjutnya, DJP diminta melakukan pengkajian bersama  Kamar Dagang dan Industri Eropa atau European Business Chamber of Commerce (EuroCham) di Indonesia terkait lima sektor jasa, untuk dikeluarkan atau tidak dari ketentuan PMK tersebut. Kelima sektor jasa tersebut meliputi pengurusan transportasi, logistik, pengurusan dokumen, pengepakan, pengangkutan/ekspedisi.

Cabut Ketentuan E-Faktur

Selain itu, Kemenkeu atau DJP juga diminta mengkaji kembali Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik. Pasalnya, kewajiban perusahaan mengeluarkan commercial invoice dan e-faktur untuk melakukan penagihan dinilai menimbulkan beban administrasi, mengingat di negara lain hanya menggunakan invoice.

Rekomendasi terkait kebijakan ini, kata Darmin, DJP diminta melakukan pengkajian teknis bersama EuroCham untuk membahas soal e-faktur.


Untuk itu, lanjutnya, Eurocham akan menyiapkan daftar perusahaan yang mempunyai permasalahan dengan e-faktur untuk dibahas bersama DJP.

Menyangkut rekomendasi tersebut, Darmin Nasution menegaskan, DJP juga harus menuntaskan permasalahan ini paling lama tanggal 5 Agustus 2016. (ags)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER