Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah membentuk sejumlah induk badan usaha milik negara (BUMN) disikapi serius oleh mayoritas perusahaan Indonesia berbasis bisnis keluarga. Konglomerasi perusahaan dalam satu silsilah tersebut didorong melakukan sinergi untuk meningkatkan penetrasi ke pasar global agar tidak kalah saing dengan holding BUMN.
Adalah Indonesia Branding Forum (IBF) yang mencetuskan ide mengumpulkan beberapa keluarga pemilik bisnis besar di Indonesia untuk bersinergi satu sama lain.
Program Director IBF Yuswohady menjelaskan, ide ini tercetus dengan melihat kontribusi bisnis perusahaan keluarga sangat tinggi untuk perekonomian Indonesia, yakni sebesar 60 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya itu, IBF juga menemukan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia nyatanya bertelur dari beberapa perusahaan induk yang dirintis oleh generasi pertama dari suatu keluarga. IBF menyatakan 95 persen dari total perusahaan yang ada di Indonesia, merupakan bagian dari bisnis keluarga.
“Perusahaan keluarga ke perekomian kita, kontribusinya luar biasa. Sekitar 25 persen PDB (produk domestik bruto) kita kan disumbang dari perusahaan keluarga. Jadi kami melihat perannya strategis untuk Indonesia,” ucap Yuswohady, Rabu (24/8).
Atas dasar itulah, IBF mengusulkan dilakukannya suatu sinergi perusahaan keluarga yang ada di Indonesia untuk masuk sekaligus bersaing bersama di pasar global.
“Kita bisa menyebutnya Family Business Inc atau Indonesia Inc, artinya kolaborasi dan sinergi antar perusahaan keluarga baik besar maupun kecil dalam rangka menghimpun kekuatan sumber daya, seperti modal, teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia, di tingkat global,” katanya.
Zaibatsu dan ChaebolInisiatif dilakukannya sinergi antar perusahaan keluarga di Indonesia, sangat jauh tertinggal dengan perusahaan-perusahaan sejenis di Jepang dan Korea Selatan.
Dikutip dari berbagai literatur, Jepang mengalami salah satu masa industrialisasi terhebat di Asia yang terjadi dalam era kekaisaran. Industrialisasi tersebut tak lepas dari peran para keluarga kaya atau yang lebih dikenal dengan istilah 'zaibatsu'.
Zaibatsu adalah grup bisnis keluarga yang terdiri dari perusahaan induk yang mengerami anak usaha lainnya. Beberapa zaibatsu bahkan memiliki sebuah bank untuk mengelola perputaran uang induk dan anak usahanya sendiri.
Bidang usaha tiap zaibatsu pun beragam, mulai dari perdagangan, pertambangan, perkebunan, otomotif, hingga jasa keuangan.
Dalam era awal sebelum Perang Dunia ke-2, terdapat empat zaibatsu yang menguasai perekonomian di Negeri Sakura. Empat zaibatsu tersebut antara lain keluarga Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo dan Yasuda.
Selengkapnya:
Mengenal Zaibatsu, Klan Kaya di Negeri SakuraSementara, perusahaan-perusahaan seperti Samsung, Hyundai, LG dan Lotte di Korea Selatan menjadi penerus dari tren konglomerasi bisnis yang lebih dulu dimulai di Jepang.
Chaebol, atau keluarga-keluarga kaya di negeri gingseng mulai menggeliat usai berakhirnya kolonialisasi Jepang di Korea Selatan.
Selama menduduki Korea Selatan, pemerintah Jepang sempat membangun berbagai industri. Setelah penjajahan berakhir pada 1945, berbagai aset industri itu ditinggalkan begitu saja. Beberapa pengusaha Korea Selatan lantas memperoleh aset dari perusahaan Jepang yang hengkang.
Hal tersebut kemudian didukung dalam era kepemimpinan Presiden Park Chung Hee pada 1960-an yang terbilang sangat pro pengusaha. Pembebasan pajak dan pinjaman berbunga rendah menguntungkan pengusaha dan di sisi lain mendongkrak ekspor negara.
Kebijakan itulah yang merangsang perusahaan keluarga di Korea Selatan bisa tumbuh besar sampai sekarang.
Baca juga:
Chaebol, Gurita Bisnis Keluarga di Korea Selatan.
(gen)