Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan pelonggaran uang muka untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dinilai belum cukup untuk menggerakan penjualan properti. Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menyarankan, seharusnya kebijakan bebas uang muka juga diberlakukan untuk fasilitas KPR.
Kebijakan bebas uang muka sendiri saat ini rencananya baru menyasar Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih mengkaji kebijakan yang bertujuan menggerakan industri otomotif yang tengah lesu.
"Kita sebenarnya kesal ada wacana uang muka 0 persen untuk kredit kendaraan bermotor (KKB) tapi baru wacana. Ini gimana? KKB bisa 0 persen masak untuk properti tidak bisa, padahal ini jaminannya jelas. Kalau untuk KKB kan malah bikin orang jadi konsumtif," kata Ali, Senin (29/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ali mengusulkan pembebasan uang muka bisa diberikan kepada nasabah yang mengajukan KPR untuk kepemilikan rumah kedua hingga ketiga. Alasannya saat ini pasar properti terutama hunian untuk kelas menengah ke atas masih sepi peminat.
Ia menilai masalah uang muka hingga cicilan masih menjadi faktor pemberat masyarakat untuk mengambil KPR.
"Masalah di Indonesia itu hanya uang muka dan cicilan. Di Jakarta gaji Rp10 juta sampai Rp15 juta belum bisa punya rumah, karena mereka berpikir tidak sanggup membayar uang muka," katanya.
Ali memperhitungkan dengan pembebasan uang muka, secara otomatis nasabah akan menanggung beban cicilan yang lebih berat. Namun hal tersebut lebih baik jika dibandingkan nasabah harus menunggu dana sampai uang muka terkumpul.
"Ada
affordability cost yang hilang, artinya kalau nasabah beli rumah menunggu uang mukanya terkumpul berarti sama saja karena harga tanah naik terus," kata Ali.
Menurutnya, meski dengan kebijakan bebas uang muka, rasio kredit macet bank juga tidak akan otomatis naik. Bank pasti akan selektif terhadap nasabah yang berhak mendapat insentif tersebut.
Menanggapi hal tersebut, SVP Consumer Loan Group Bank Mandiri Harry Gale mengatakan, bisa saja kebijakan tersebut diterapkan oleh bank. Namun perbankan juga harus melihat risiko yang dimiliki oleh masing-masih nasabah serta riwayat portfolio kredit yang dimiliki oleh masing-masing bank.
"Kita harus lihat dari
risk appetite masing-masing bank. Mitigasi dan segala macamnya harus juga dipikirkan oleh banknya," ujar Harry.
(gen)