Jakarta, CNN Indonesia -- Mimpi-mimpi besar Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bisa menjadi motor pembangunan infrastruktur bidang energi pendorong pertumbuhan ekonomi masih jauh panggang dari api.
Dua tahun Kabinet Kerja berjalan, nampaknya angan-angan tersebut belum juga menampakkan hasil berarti.
Mungkin Jokowi sadar, penyebabnya adalah tata kelola di internal Kementerian ESDM itu sendiri. Jika tidak, tak mungkin orang nomor satu di negara ini sampai harus mengganti Menteri ESDM sebanyak empat kali hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mulai dari Sudirman Said, Arcandra Tahar, Luhut Binsar Panjaitan selaku Pelaksana tugas, sampai pekan lalu menunjuk Ignasius Jonan sebagai komandan baru kementerian tersebut. Atau mungkin saja, ada banyak kepentingan yang mewarnai tersendatnya koordinasi Kementerian ESDM dengan instansi lainnya.
Siapa bisa lupa perseteruan antara Menteri ESDM pertama di era Jokowi, Sudirman Said dengan mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli ihwal skema pembangunan fasilitas regasifikasi Liquefied Natural Gas (LNG) untuk memproses gas dari lapangan Abadi, blok Masela.
Sudirman, kala itu memilih skema lepas pantai karena dianggap lebih efisien dan sesuai dengan rencana pengembangan (
Plan of Development/PoD) yang diserahkan investor, Inpex Corporation. Di sisi lain, Rizal malah justru menginginkan skema darat (
onshore) karena dianggap lebih menguntungkan rakyat.
Tidak satupun undangan rapat yang dilayangkan Rizal Ramli terkait blok Masela dihadiri Sudirman Said. Keduanya malah asik membangun opini publik atas pilihan kebijakannya lewat media massa yang ironisnya justru meraih banyak pembaca akibat saling sikut antar kedua menteri.
Bahkan, ada dugaan jika pertentangan keduanya sarat kepentingan. Pengamat energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai silang pendapat ini malah membuat realisasi investasi blok Masela semakin molor sekaligus membingungkan calon investor.
"Polemik antara Sudirman Said dan Rizal Ramli kian tak produktif karena yang dipermasalahkan malah yang tidak berkaitan langsung dengan substansi proyek Masela. Bukannya membahas manfaat untuk masyarakat Maluku, malah saling tuding soal adanya kepentingan bisnis di belakang mereka,” ujar Fahmy.
Jokowi mungkin sadar jika pertentangan ini membuat ketidakpastian bagi investor, sehingga mau tak mau ia pun ikut turun tangan. Akhirnya, ia menetapkan pembangunan fasilitas regasifikasi LNG Masela di darat, mengubah apa yang telah disepakati calon investor dengan pemerintah terdahulu.
Sebagai konsekuensinya, Inpex harus menyusun kembali rencana pengembangan blok Masela (
plan of development/PoD), usai PoD sebelumnya dimentahkan pemerintah. Untuk bisa menyelesaikan rancangan tersebut, Inpex menyodorkan tiga permintaan khusus yang terdiri dari moratorium masa kontrak 10 tahun, penambahan kapasitas kilang LNG, dan pengembalian
sunk cost sebesar US$1,2 miliar yang digelontorkan Inpex ketika menyusun PoD pertama dengan skema lepas pantai (
offshore).
Meski demikian, Fahmy mengatakan bahwa intervensi Jokowi merupakan langkah yang jitu agar cekcok tersebut tak semakin larut. "Ini sudah menjadi tugas Presiden agar investor tidak kabur," jelasnya.
Sayangnya, perseteruan sengit melalui media massa juga dilakukan Sudirman Said dengan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir yang secara nyata menghambat pembangunan megaproyek listrik 35 ribu Megawatt (MW) yang diidamkan Jokowi sampai akhir masa pemerintahannya di 2019 nanti.
Masalah dimulai saat PLN menetapkan tarif Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) secara sepihak dan lebih murah dibanding Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 tahun 2015.
Sudirman menyebut, tarif listrik yang lebih tinggi dimaksudkan untuk menggaet investor. Sebaliknya, PLN menganggap tarif itu kemahalan dan tidak mampu dibeli manajemen perusahaan setrum pelat merah sebagai pembeli tunggal listrik yang dihasilkan perusahaan swasta.
Tak terima, Sudirman menuding PLN menyebar fitnah dan memberikan kebohongan publik.
"Ada baiknya yang berbicara PLN akan bangkrut itu banyak-banyak istighfar, mohon ampun pada Tuhan," begitu kata Sudirman pada bulan Juni silam.
Namun, perseteruan tak berhenti sampai situ. Di hadapan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Sudirman membeberkan empat kasus lain di mana PLN diposisikan sebagai pembangkang kebijakan pemerintah.
Ketidakcocokan yang pertama, ujar Sudirman, adalah tidak dipatuhinya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 tahun 2015 dan Permen ESDM Nomor 3 tahun 2015 yang mengatur harga pembelian kelebihan tenaga (
excess power). Menurutnya, PLN malah menerbitkan pedoman pembelian
excess power tersendiri berdasarkan Harga Pembelian Sendiri (HPS), yang dituding Sudirman membuat bisnis listrik tidak menarik.
Selain itu, ia juga menyebut, PLN tidak mau melepaskan wilayah usahanya meski perusahaan tersebut tidak memiliki rencana pengembangan bisnis disana. Padahal sebelumnya, instansinya sudah menerbitkan Permen ESDM Nomor 28 tahun 2002 yang memperbolehkan badan usaha lain masuk untuk mengganti peran PLN di wilayah yang belum dialiri listrik.
Terakhir, dan menurut mantan bos PT Pindad (Persero) tersebut paling krusial, adalah tidak dipatuhinya penyederhanaan tender
Independent Power Producer (IPP) melalui Permen ESDM Nomor 3 tahun 2015.
Kendati diberondong berbagai tuduhan, anehnya Sofyan selalu mengaku tak pernah ada masalah dengan Sudirman.
Pengamat energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menyayangkan keruhnya pertentangan ini. Pasalnya, proyek listrik, utamanya 35 ribu MW adalah proyek besar yang menyangkut kredibilitas pemerintahan Jokowi.
Apalagi, realisasi 35 ribu MW selalu menjadi sorotan legislatif. Sampai kuartal I tahun ini, contohnya, baru terealisasi pembangkit dengan total kapasitas 123 MW, atau baru mencapai 0,35 persen dari target yang ditetapkan.
"Maka dari itu, sudah seharusnya menteri meneruskan dengan baik proyek 35 ribu MW. Utamanya adalah konsistensi kebijakan," jelas Pri Agung.
Bongkar Pasang MenteriBosan dengan kisruh, Jokowi akhirnya mencopot Sudirman Said dan menggantinya dengan Arcandra Tahar, sosok pribumi yang lama malang melintang di bisnis energi Amerika Serikat.
Selepas Sudirman, Arcandra dibebani banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Menurut Pri, kebijakan Sudirman yang sudah baik perlu dilanjutkan, namun ia sempat khawatir dengan sosok Arcandra yang berasal dari kalangan profesional.
"Karena tentu saja sosok Menteri ESDM juga harus lihai berpolitik dan paham dari sisi ekonominya," jelasnya.
Tak sampai sebulan menjabat dan praktis belum menunjukkan kapasitasnya, Arcandra malah tersandung masalah dwikewarganegaraan yang sangat sensitif di mata publik. Banyak yang menyangka, penunjukkan Arcandra berhubungan dengan kepentingan Amerika Serikat di sektor ESDM.
Apalagi, saat itu bertepatan dengan masa perpanjangan masa izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia, yang ujung-ujungnya diperpanjang hingga Januari 2017.
Paham telah melakukan blunder, Jokowi kemudian mencopot Arcandra. Pri Agung mengatakan, langkah itu sangat tepat agar tercipta kepastian bagi dunia usaha.
"Keputusan itu sudah tepat. Itu memberikan kepastian bagi semua pihak, dan kondisi ini juga terbilang kondusif bagi kabinet kerja," ujarnya.
Posisi Arcandra kemudian diganti sementara oleh Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Harusnya, ini tak mengherankan mengingat Kementerian ESDM di bawah koordinasi Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman yang dikomandoi Luhut.
Banyak poin penting yang tercapai di bawah kendali Luhut, utamanya pemberian insentif eksplorasi melalui finalisasi revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2010 dan juga kepastian bagi keinginan Inpex untuk melanjutkan pengembangan blok Masela.
Namun dibawah kepemimpinan Luhut, ada juga wacana yang bikin mata investor memincing seperti relaksasi ekspor mineral pasca Januari 2017 dan impor LNG demi mengefisienkan harga gas industri.
Maklum, sejak Undang-Undang Minerba yang terbit pada 2009 silam mewajibkan seluruh bahan galian tambang untuk diolah lewat pabrik pengolahan dan pemurnian (
smelter), banyak investor masuk ke Indonesia dan menanamkan duit miliaran dolar di sektor tersebut.
Sementara alasan impor LNG demi memangkas harga gas bagi pelanggan industri di kawasan Indonesia bagian Barat, seolah tidak memperhatikan puluhan kargo LNG produksi ladang-ladang gas di Indonesia yang diprediksi sulit mendapatkan pembeli sampai akhir 2017 nanti.
Tak sempat Luhut menyelesaikan tugasnya, tiba-tiba Jokowi melantik Ignasius Jonan sebagai Menteri ESDM yang baru. Kehadiran Jonan, yang mengaku tidak punya pengalaman mengelola sektor energi, sangat disayangkan oleh para pengamat.
Direktur Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara memahami bahwa Jonan dipilih untuk menciptakan manajemen yang baik. Apalagi, pengalaman Jonan sebagai Menteri Perhubungan bisa membantunya untuk melakukan berbagai lobi politik.
Namun, minimnya pengetahuan terkait pengelolaan energi bisa menjadi penghambat kinerja yang sangat berarti. Marwan mengatakan, Jonan memiliki waktu yang minim untuk belajar sektor energi di tengah begitu banyak target yang harus diselesaikan di sisa masa pemerintahan.
"Apalagi di sisa pemerintahan yang sedikit lagi, harusnya yang dipilih memang benar-benar bisa menyelesaikan program-program energi sampai selesai," jelas Marwan.
Bisa saja Jokowi tak puas akan realisasi proyek-proyeknya, sehingga ia kembali mengganti pembantunya berulang-ulang kali hingga masa kepemimpinannya berakhir tahun 2019 mendatang.
Namun, selama masih ada pembantunya yang terus mengurusi gesekan-gesekan di media massa, mimpi Jokowi bisa jadi hanya akan menjadi asa belaka.
Menurut Pri Agung, sekarang bukan saatnya melihat kapasitas dan latar belakang sang Menteri ESDM. "Namun, menteri itu harusnya bisa sesuai dengan keinginan Jokowi. Yaitu fokus kerja, kerja, dan kerja," pungkasnya.
Siapa tahu Jonan benar-benar pemenang terakhir dari sayembara mencari menteri ESDM, dan berhasil memenuhi ekspektasi Jokowi.
(gen)