ANALISIS

Dolar Perkasa, Mudarat Bursa Saham, Maslahat Pasar Uang

Elisa Valenta Sari & Dinda Audriene | CNN Indonesia
Jumat, 02 Des 2016 07:22 WIB
Penguatan dolar AS terhadap rupiah dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya ketidakpastian politik dalam negeri dan rencana kenaikan bunga The Fed.
Penguatan dolar AS terhadap rupiah dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya ketidakpastian politik dalam negeri dan rencana kenaikan bunga The Fed. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --
Nilai tukar dolar AS semakin menunjukkan tajinya terhadap mata uang dunia. Tak terkecuali terhadap rupiah. Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), dolar AS tembus hingga Rp13.582 pada 1 Desember 2016.

Memang, angka ini belum seberapa jika dibandingkan dengan posisi nilai tukar pada 26 Januari 2016 yang bisa mencapai Rp13.904 per dolar AS. Namun, kekhawatiran dolar AS menyentuh Rp14.000 semakin tinggi.

Aidil Akbar, perencana keuangan menerangkan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS seiring dengan meningkatnya ketidakpastian situasi politik dan hukum di dalam negeri. Sementara, faktor eksternal yang juga ikut memengaruhi adalah rencana bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya.

“Politik dan hukum sangat berhubungan dengan ekonomi. Pasar menunggu sampai ada kepastian. Sehingga, investor memandang perlu menahan investasinya,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (2/11).

Imbasnya, pasar modal dan pasar uang nasional semakin tertekan. Di pasar modal misalnya, Lana Soelistianingsih, ekonom Samuel Asset Management menyebutkan, sekitar US$2,3 miliar dana asing keluar dari Indonesia. Hal ini terang benderang terjadi terutama usai pesta demokrasi rakyat AS yang memenangkan Donald Trump.

“Dana asing yang keluar (capital outflow) di pasar modal sebesar US$1 miliar selama November 2016. Sementara, di pasar uang sebesar US$1,3 miliar. Dana asing yang keluar itu umumnya berbentuk portfolio saham dan obligasi,” katanya.

Reza Priyambada, analis Binaartha Sekuritas bilang, capital outflow banyak disumbang dari transaksi jual saham-saham berkapitalisasi besar, khususnya saham bank kelas kakap di kelompok BUKU 4.

Tengok saja, selama November 2016, saham empat bank besar sempat rontok. Seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang jatuh ke Rp10.100 per saham, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk turun ke Rp5.000 per saham.

Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk juga sempat merosot ke Rp10.475 dan PT Bank Central Asia Tbk yang jatuh ke posisi Rp14.300 per saham pada perdagangan akhir November.

“Aksi jual lebih banyak ke saham-saham berkapitalisasi besar. Nah, saham dengan kapitalisasi besar banyak berasal dari sektor perbankan. Mereka banyak melakukan aksi jual,” imbuhnya.

Kredit Valas Melempem

Imbas penguatan dolar AS terhadap rupiah juga menghantam bisnis bank. Salah satu yang paling terasa, yaitu pelemahan pertumbuhan kredit valuta asing (valas), utamanya dari segmen korporasi.

Direktur Utama Citi Indonesia Batara Sianturi mengakui, penyaluran kredit valas belum menunjukkan geliat pertumbuhan. Bahkan, lebih banyak nasabah yang melakukan refinancing (pembiayaan kembali) demi mendapatkan bunga lebih rendah.

Setali tiga uang, Direktur Utama OCB NISP Parwati Surjaudaja bilang, kredit valas hanya mencapai Rp22 triliun hingga kuartal III 2016. Jumlah ini melorot 10,93 persen ketimbang periode yang sama tahun lalu, yakni Rp24,7 triliun.

Dengan pelemahan nilai tukar rupiah, ia khawatir, nyali korporasi untuk ekspansi melalui kredit valas korporasi semakin ciut. “Namun, pada dasarnya permintaan kredit valas sangat bergantung kepada korporasi. Bukan kurs,” terangnya.

Direktur Utama Bank Permata Roy A Arfandy menjelaskan, sebetulnya, permintaan kredit valas sangat bergantung pada aktivitas ekspor-impor. Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), aktivitas ekspor turun 6 persen. Sementara, aktivitas impor juga turun 3,8 persen.

“Saat ini, memang permintaan sedikit melemah. Namun, apabila pertumbuhan ekonomi semakin baik, tentu akan meningkatkan volume kredit, termasuk juga kredit valas,” tutur dia.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September 2016, kredit valas industri perbankan turun hingga 12,86 persen menjadi Rp594,9 triliun.

Kendati kredit valas tengah lesu, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara optimistis, pertumbuhannya akan membaik di tahun depan. Ia meramal, beberapa harga komoditas pertambangan membaik, termasuk juga sektor perkebunan, seiring dengan pertumbuhan ekonomi China.

Maslahat Investor Pasar Uang

Kendati, rupiah loyo terhadap dolar AS, kondisi ini tidak melulu berarti malapetaka. Bagi investor, situasi saat ini bisa saja dimanfaatkan sebagai momentum untuk mempertebal pundi-pundi mereka. 

Menurut Aidil, berinvestasi pada dolar AS merupakan jalan tepat di tengah pelemahan rupiah. Terlebih lagi, karena  kondisi dalam negeri saat ini juga menambah resiko bagi pelaku pasar dalam berinvestasi. Namun, ia juga menyarankan, investor cermat menyebar portfolio investasinya dalam bentuk logam mulia dan mata uang asing lain.

Reza juga berpendapat serupa. Ia menilai, saat ini adalah waktu yang tepat untuk mempertebal lembaran dolar AS. Sebagai diversifikasi, ia mengingatkan, investor bisa melakukan trading dalam jangka pendek untuk mengantisipasi risiko melemahnya harga saham.

Adapun, rekomendasi Reza, yakni melakukan aksi beli pada saham perbankan dan sektor consumer goods. Pasalnya, meski saham-saham perbankan sempat rontok, kecenderungannya menguat lebih besar.

“Emiten perbankan biasanya BBNI, BBCA, BMRI, dan BBRI. Lalu, saham konstruksi juga bisa, saham konsumer,” pungkasnya.


ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(bir)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER