Jakarta, CNN Indonesia -- Chatib Basri, mantan menteri keuangan periode 2013-2014 menilai, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam beberapa hari terakhir merupakan dampak dari antisipasi pasar terhadap rencana kenaikan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed), bank sentral Amerika Serikat.
"Saya rasa, pasar sudah
price in (menyesuaikan).
Price in itu sudah diantisipasi. Jadi, kemarin rupiahnya Rp13.500 itu antisipasi Fed Fund Rate. Kalau naik, ada tekanan di rupiah," ujarnya, Rabu (30/11).
Menurut Chatib, pasar tidak pernah mau menunggu sampai suku bunga AS benar-benar naik. Pasar selalu bekerja, bahkan dari enam bulan sebelum kejadian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi, ketika dia melihat Trump menang, ada kemungkinan ekspansi fiskal, interest rate (suku bunga) akan naik, dia (investor) keluar," katanya.
Terkait dengan prediksi akan semakin banyaknya aliran modal keluar (
capital outflow) dari Indonesia, Chatib menerangkan, investor masih akan melihat tren suku bunga, apakah akan terus naik atau tidak.
"Dia akan lihat, tren naik terus atau tidak. Jadi, yang keputusannya bukan hanya Desember, tetapi akan terus atau tidak. Mungkin, The Fed akan naik terus hingga 50 bps (basis poin) tahun depan," tuturnya.
Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah dalam dua pekan terakhir. Pada Rabu (30/11) ini, rupiah tembus Rp13.563 per dolar AS, melemah dibandingkan hari sebelumnya Rp13.549 per dolar AS.
Secara terpisah, Destry Damayanti, Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjelaskan, suku bunga AS memiliki kecenderungan untuk bergerak lebih agresif pasca kemenangan Trump. Sebagai respon atas hal tersebut, perbankan domestik terus melakukan konsolidasi internal untuk mengantisipasi perkembangan pasar.
Sebagai informasi, The Fed mempertahankan suku bunga acuannya di rentang 0–0,25 persen selama tujuh tahun terakhir, yaitu dari Desember 2008 hingga Desember 2015. Setelah itu, The Fed menaikan suku bunganya sebesar 25 basis poin ke level 0,25–0,50 persen dan berlaku hingga kini. Kebijakan moneter akomodatif itu dipertahankan guna mendorong pertumbuhan pasar tenaga kerja dan mencapai target inflasi AS sebesar 2 persen.
(bir/gen)