Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) telah membangun 40 ribu rumah murah sepanjang tahun ini. Realisasi tersebut hanya menyentuh 57,14 persen dari target yang dipatok asosiasi sebanyak 70 ribu unit.
Ketua Umum Apersi versi Munas Jakarta Anton Santoso mengatakan, ada dua hal yang menyebabkan pembangunan rumah murah tak mencapai target tahun ini.
Pertama adalah Penandatanganan Kerjasama Operasional (PKO) dengan perbankan penyalur kredit, yang baru dilakukan pada Januari 2016. Padahal seharusnya, PKO dilaksanakan maksimal Desember 2015 agar akad rumah murah bisa dilakukan di awal tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalah ke-dua adalah terbitnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21 Tahun 2016, yang menyebut bahwa akad kredit baru bisa dilakukan jika listrik sudah tersambung di rumah subsidi. Padahal di beberapa daerah di luar Jawa, sambungan listrik masih banyak yang belum tersedia.
"Setiap ada kebijakan, itu menahan kemajuan pembangunan rumah murah. Untung kemarin aturan Menteri Nomor 21 sudah diganti di pertengahan tahun, sehingga kami bisa mencapai target 40 ribu unit rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) hingga akhir tahun ini," tutur Anton, Rabu (28/12).
Akibat capaian tersebut, Anton menyebut asosiasi tak mau terlampau optimistis di tahun 2017. Ia menerangkan, Apersi tetap menargetkan pembangunan rumah murah sebanyak 70 ribu unit, atau sama seperti target di tahun ini.
Kendati demikian, target tahun depan diharapkan bisa meningkat setelah Apersi, yang saat ini terpecah menjadi tiga kubu, akan melakukan rekonsiliasi nasional dalam waktu dekat. Jika rekonsiliasi berhasil, maka jumlah anggota Apersi akan menjadi lebih besar. Sehingga, target rumah yang bisa dibangun Apersi bisa meningkat dari 70 ribu rumah menjadi 150 ribu rumah di tahun depan.
"Kami melihat sudah saatnya Apersi menjadi satu kembali sehingga lebih besar dan kuat. Sehingga lebih banyak rumah MBR yang akan dibangun oleh Apersi. Dan kami bisa lebih besar lagi berkontribusi menyukseskan program 1 juta rumah," jelasnya.
Di samping itu, ia juga yakin bisnis rumah murah masih prospektif karena masih ada backlog sebanyak 11,4 juta rumah di tahun 2017. Maka dari itu, tak heran jika kini banyak pengembang properti besar ikut terjun ke dalam bisnis ini.
Maka dari itu, menurutnya, kemampuan menggerakkan bisnis rumah murah ini tergantung kemampuan dana yang disiapkan pemerintah dalam mesubsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Selain itu, ia juga berharap pemerintah segera membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) ihwal pengurangan perizinan rumah MBR, sesuai isi paket kebijakan jilid 13.
"Memang sangat prospektif sekali bisnis rumah murah, sampai-sampai pengembang besar juga ikut terjun di dalamnya kan. Kini tergantung kesiapannya pemerintah saja," ujarnya.
Bunga KreditNamun, ia tetap berharap pemerintah mau memberikan regulasi yang meringankan bunga kredit konstruksi. Pasalnya, ia menganggap bunga yang diberikan perbankan saat ini terlampau tinggi, yaitu 12 hingga 13 persen. Menurut Anton, bunga kredit konstruksi yang ideal dari perbankan seharusnya berada di kisaran 8 persen, sesuai dengan modal yang dimiliki pengembang rumah murah.
"Sekarang banyak bank yang terjun untuk kredit FLPP, tapi belum berani terjun di dalam kredit konstruksinya. Kami harapkan perbankan lebih pro juga untuk pengembang MBR," pungkas Anton.
Sebagai informasi, pemerintah menargetkan pembangunan rumah MBR sebanyak 700 ribu unit di tahun 2016. Sebanyak 113.422 unit dibangun menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sementara sisa 568.578 unit akan dibantu pengembang swasta.
(gen)