Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal mengakomodir keluhan PT Freeport Indonesia yang keberatan harus membayar bea keluar (BK) sebesar 7,5 persen atas ekspor konsentrat yang dilakukannya tahun ini. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 2017 yang diteken Sri Mulyani Indrawati pada 9 Februari silam.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Sujatmiko mengaku manajemen Freeport telah menyatakan keberatan tersebut kepada instansinya.
Menurut Sujatmiko, Freeport beralasan selama periode Januari 2014 sampai Januari 2017, BK yang dibayarnya hanya 5 persen saja. Selain itu, Kontrak Karya (KK) yang dipegang perusahaan tidak menyebutkan kewajiban pembayaran BK untuk melakukan ekspor konsentrat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk meredam keberatan tersebut, Kementerian ESDM menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang berlaku sampai Oktober 2017. Di mana di dalamnya dicantumkan pengecualian tarif BK menjadi 5 persen bagi Freeport.
“Freeport bisa ekspor dengan BK 5 persen berdasarkan IUPK sampai Oktober," kata Sujatmiko, dikutip dari detikFinance, Jumat (21/4).
Besaran tarif tersebut menurutnya akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya IUPK sementara bagi perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS). Setelah itu, pemerintah akan mengevaluasi dan melepas keputusan kepada manajemen Freeport apakah perusahaan akan mengubah KK-nya menjadi IUPK atau tidak.
Sebagai informasi, pengenaan BK dalam PMK 13 tahun 2017 dihitung berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian mineral (
smelter) yang dibuat oleh perusahaan tambang.
Jika tingkat pembangunan fisik
smelter sampai 30 persen, maka Kementerian Keuangan memungut BK sebesar 7,5 persen. Apabila pembangunan fisik sudah di kisaran 30-50 persen, BK dikurangi jadi 5 persen saja. Jika sudah sudah 50-75 persen, BK mengecil lagi jadi 2,5 persen. Terakhir, jika
smelter sudah di atas 75 persen, baru perusahaan tersebut bisa menikmati BK nol persen.
Freeport sendiri sudah memulai pembangunan
smelter di Gresik, Jawa Timur berkapasitas olah 2 juta ton konsentrat per tahun. Namun, sampai sekarang kemajuan pembangunannya baru sampai 14 persen.