Jakarta, CNN Indonesia -- Saham PT Gajah Tunggal Tbk bereaksi atas rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri salah satu aset milik Sjamsul Nursalim, obligor kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekaligus pendiri perusahaan yang memproduksi ban berlabel GT Radial.
Tren harga saham emiten berkode GJTL tersebut melorot. Sejak awal bulan sampai penutupan kemarin, Rabu (26/4), harga sahamnya rontok 11,68 persen ke Rp1.020. Padahal, pada awal bulan, harga saham GJTL sempat menyentuh Rp1.155.
Sementara, pada penutupan sesi 1 hari ini, harga saham mulai sedikit menanjak 1,47 persen ke level Rp1.035. Apabila dihitung secara keseluruhan, berarti penurunannya sejak awal bulan mencapai 10,38 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Analis Senior Binaartha Securities Reza Priyambada mengatakan, kemungkinan besar, Sjamsul masih mengempit saham di Gajah Tunggal melalui perusahaan lain yang dimilikinya. Ia menilai, umumnya, seorang pendiri emiten tidak akan melepas seluruh kepemilikannya.
"Belum tentu melepas keseluruhan. Bisa saja, dia punya saham melalui perusahaan lain atau memang jumlah saham yang dia miliki benar-benar sudah berkurang. Jadi, bukan sebagai pengendali, tetapi tetap punya. Jadi, ibaratnya masih eksis di perusahaan itu," ujarnya, Kamis (27/4).
Kemungkinan lainnya, Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee berpendapat, aset yang dimiliki Sjamsul sebelumnya sudah diberikan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai jaminan atas pengembalian BLBI.
"Kalau ingat kasus BLBI, mereka kan harus serahkan aset ke BPPN. Jadi, kepemilikan habis disana, kemungkinan sudah diserahan ke sana," katanya.
Menanti Penjelasan Manajemen GJTLLaporan efek akhir Maret 2017 melansir, pemegang saham tertinggi Gajah Tunggal dimiliki oleh Denham Pte Ltd, yakni 49,5 persen. Kemudian, Compagnie Financiere Michelin sebesar 10 persen. Sementara, untuk pemodal lokalnya sendiri, khususnya perorangan Indonesia hanya sebesar 9,48 persen.
Namun demikian, pasar tetap bereaksi terhadap pemberitaan yang beredar. Paling tidak, pasar menunggu respon dari manajemen Gajah Tunggal terkait pemeriksaan yang akan dilakukan KPK. Tak heran, harga saham Gajah Tunggal ikut terpengaruh karena pelaku pasar cenderung berhati-hati melakukan transaksi seiring bergulirnya kasus itu.
"Pasar cenderung
wait and see melihat seberapa besar kasus (obligor BLBI) terhadap kinerja Gajah Tunggal. Beberapa hari terakhir memang harga saham Gajah Tunggal turun," terang Reza.
Menurut dia, kalau manajemen memberikan pernyataan untuk memastikan pelaku pasar bahwa kinerja perusahaan tidak akan terganggu, setidaknya manajemen boleh optimis, meski sedang ada persoalan yang menyeret nama Gajah Tunggal.
"Namun, kalau manajemen memberikan pernyataan, paling tidak pasar melihat kalau memang tidak ada masalah," ucap Reza memberi saran.
Sementara, Hans berpendapat, jika memang Sjamsul sudah tidak lagi memiliki saham di Gajah Tunggal, tentunya tidak akan mengganggu pergerakan harga saham dalam jangka panjang.
Namun, ia akui, kasus ini memang berdampak negatif untuk harga saham Gajah Tunggal dalam jangka pendek. "Jadi, meski KPK akan tetap melakukan investigasi, tidak akan berdampak pada kinerja korporasi. Hanya saja, akan mengganggu harga saham," imbuhnya.
Sebagai informasi, dalam skema penyelamatan Bank Indonesia (BI) terhadap bank-bank sakit pada krisis ekonomi 1998/1999 silam, Sjamsul merupakan pemilik dan pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Saat itu, ia ikut menikmati kucuran dana penyelewengan BLBI.
Sjamsul pun dikejar untuk membayar kewajibannya sebesar Rp4,8 triliun. Ia tercatat telah menyetor Rp1,1 triliun atau berarti tersisa Rp3,7 triliun yang harus dilunasinya. Alih-alih lunas, Sjamsul malah sudah mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) dari eks kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung.
KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka karena telah mengakibatkan kerugian negara. Sementara, rencana penyelidikan terhadap Gajah Tunggal terus dilakukan, karena Sjamsul disebut masih memiliki aset dalam perusahaan tersebut.
CNNIndonesia.com berupaya melakukan konfirmasi kepada manajemen Gajah Tunggal. Namun, Direktur Corporate Communication dan Hubungan Investor Catharina Widjaja menjawab bahwa Sjamsul sudah tidak memiliki saham di Gajah Tunggal.
"Pak Sjamsul sudah tidak memegang saham PT Gajah Tunggal," ucapnya.
Catharina juga enggan menanggapi lebih jauh soal keterlibatan nama Gajah Tunggal dan Sjamsul. "Saya tidak mau berkomentar, karena saya tidak memiliki informasi terkait hal itu," jelasnya.
Bayar Utang Jatuh TempoManajemen Gajah Tunggal agaknya harus bekerja ekstra keras. Selain terseret kasus BLBI, manajemen perlu memutar otak mencari dana segar demi membayar utang jatuh temponya pada Februari 2018 mendatang.
Pasalnya, surat utang berbentuk obligasi itu berdenominasi dolar AS. Penguatan dolar diyakini akan memengaruhi jumlah utang obligasi yang wajib dibayar perusahaan.
Hans mengusulkan, utang obligasi globalnya bisa dibayar melalui penerbitan obligasi dalam bentuk rupiah yang diterbitkan tahun ini. Toh, bunga masih rendah. Diyakini, pasar akan menyerap obligasi tersebut.
"Ini kan bunga lagi rendah, kalau dilihat, seperti PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) mau terbitkan obligasi. Alasannya, karena bunga lagi rendah. Jadi, bisa penerbitan obligasi dulu," tutur Hans.
Namun demikian, ia mengingatkan, jika obligasi yang mau diterbitkan kembali dalam bentuk dolar, maka perusahaan perlu berpikir cepat, karena The Fed dikabarkan akan menaikkan suku bunganya lebih cepat.
Reza menambahkan, Gajah Tunggal harus memberikan pernyataan secara resmi terkait pembayaran obligasi tersebut untuk memberikan kepastian kepada pasar. Soalnya, rasio utang Gajah Tunggal saat ini mencapai dua kali.