Jakarta, CNN Indonesia -- Bak sebuah lagu lawas, penghapusan sistem kerja alih daya atau kontrak (
outsourcing) merupakan salah satu lagu yang kembali dimainkan saat memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, yang jatuh pada tanggal 1 Mei setiap tahunnya.
Lagu lawas itu, rupanya masih enak didengar dan disenandungkan oleh kaum buruh yang menuntut agar sistem dinilai mirip perbudakan itu tak lagi mereka rasakan sehingga perlu diganti dengan sistem kerja lain yang jauh lebih memanusiakan.
Kaum buruh menganggap,
outsourcing cenderung mengeksploitasi jam kerja buruh dengan gaji rendah. Tak perlu berharap dapat jaminan ketenagakerjaan dan asuransi kesehatan, gaji outsourcing bahkan banyak yang 'dipotek' dari standar kelayakan Upah Minimun Regional (UMR) atau Upah Minimum Provinsi (UMP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah menyoal gaji dan tunjangannya, jangan pula berharap ada tingkatan jenjang karir yang menjanjikan dari
outsourcing. Justru kebanyakan, pengolahan keterampilan buruh jadi tak bertambah sehingga 'harga' mereka hanya disitu saja.
Meski begitu, di mata perusahaan penyedia layanan terpadu yang turut mengadopsi sistem
outsourcing di dalam bisnisnya, 'dosa'
outsourcing sebenarnya bukanlah pada sistemnya, namun kesalahan lanjutan yang tercipta karena persaingan pasar.
Berikut wawancara
CNNIndonesia.com dengan Direktur Utama PT Integrated Service Solutions (ISS) Indonesia Elisa Lumbantoruan pada pekan lalu mengenai aransemen ulang sistem
outsourcing.
Bagaimana ISS Indonesia melihat sistem outsourcing?Indonesia punya potensi tenaga kerja yang begitu besar. Tak heran bila jumlah pengangguran juga masih tinggi karena memang ketersediaan sumber daya manusia (SDM) sangat banyak. Sayangnya, dengan ketersediaan tenaga kerja ini, tak seluruhnya bisa masuk ke industri atau dunia usaha. Perusahaan-perusahaan, mulai dari kecil, menengah hingga besar, tak semuanya bisa menyerap mereka.
Kalau pun bisa menyerap, tak semuanya juga bisa memberikan kontrak kerja utuh karena ada perhitungan keuangan dan penyesuaian kebutuhan akan SDM. Ini yang kemudian membuat adanya sistem kerja kontrak atau
outsourcing, yang disatu sisi menjadi jalan keluar bagi kemampuan perusahaan merekrut pekerja dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja Indonesia akan pekerjaan.
 Ilustrasi pekerja outsourcing. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Lalu, bagaimana outsourcing kemudian menjadi bumerang bagi pekerja dan justru seakan tidak memanusiakan kaum buruh?Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan outsourcing. Dari sisi perusahaan, mereka jadi punya cara memenuhi kebutuhan tersebut, itu justru sangat membantu sehingga perusahaan betul-betul mampu mengelola SDM yang dimiliki dan dibutuhkan, itu jalan keluar, sistem
outsourcing jadi efisien untuk mereka.
Dari sisi tenaga kerja, juga tidak buruk, mereka dapat pekerjaan, dapat penghasilan. Tapi dengan perkembangan antara ketersediaan dan permintaan (
supply and demand) SDM yang kemudian secara tidak sengaja, seakan mengacaukan, membuat
outsourcing bukan lagi jalan keluar bagi kedua kubu. Jadi, bukan
outsourcing-nya yang salah tapi ketersediaan buruh (
labor supply) yang kemudian membuat ini terlihat salah.
Jelas saja, dengan ketersediaan SDM, pasar tenaga kerja banjir calon pekerja. Dari teori ekonomi, kalau banyak stok, harga bisa jadi murah. Ini yang terjadi.
Sayangnya, ini yang berlanjut dan menimbulkan kesalahan lanjutan, yang berakhir pada upah rendah. Padahal
outsourcing seharusnya yang diadopsi bukan upah rendahnya tapi sistem kerjanya.
Lantas bagaimana sistem outsourcing ISS Indonesia? Sistem yang kami gunakan adalah menyediakan pekerja pelayanan terpadu sesuai dengan kontrak proyek yang disepakati dengan perusahaan lain, itu yang
outsourcing-nya, sistem kontrak kerjanya. Kalau perusahaan klien hanya butuh untuk dua tahun maka pekerja ISS hanya dua tahun bekerjanya. Baru setelah itu, mereka pindah ke proyek lain.
Tapi kami tidak mengadopsi kesalahan sistem
outsourcing seperti yang banyak terjadi, yang berakhir pada upah rendah. Kami justru menata ulang sistem tersebut. Karena kami justru meminta bayaran dua kali UMR kepada perusahaan klien. Sedangkan yang lain justru mencari yang lebih murah.
Pertama, gaji petugas ISS satu kali UMR. Lalu, mereka dapat asuransi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, dan tabungan pensiun. Kalau dihitung, untuk tiga asuransi tersebut, sekitar 18 persen dari UMR. Kemudian, kami katakan mereka harus dapat tunjangan hari raya (THR) itu sekitar delapan persen dari gaji.
Keempat, dia juga harus punya jatah cuti, itu bisa 4 persen tambahan. Lalu, dia (petugas) harus mendapatkan pelatihan (
training) selama dua minggu, harus ada tambahan lagi 4 persen. Dia juga harus dapat seragam, tambah lagi 4 persen. Terakhir, dia harus dikembangkan (
develop), tambah lagi 4 persen.
Itu semua kalau dijumlah maka pengeluaran gaji untuk satu orang petugas ISS sekitar 1,7 kali lipat dari UMR. Jadi, kalau Provinsi DKI Jakarta saat ini UMR-nya sekitar Rp3,4 juta per orang, dikali 1,7 lipat, bisa hampir Rp6 juta per orang. Itu baru pengeluaran untuk gaji satu orang petugas.
Bagaimana agar perusahaan lain turut menata ulang sistem outsourcing tersebut? Di satu sisi, tidak mungkin juga memberikan gaji hampir dua kali lipat dari UMR, perusahaan pengeluarannya bisa jadi bengkak. Kalau soal pengeluaran perusahaan, di satu sisi mereka mungkin berpikir, "Sudah gila ya, mau gaji sebesar itu?" Karena orang mengatakan, dua kali lipat UMR.
Tapi kalau kami bisa jelaskan seperti itu, kami jelaskan rinciannya, bagaimana kami menjamin kualitas petugas, bagaimana kami memikirkan kehidupan ke depan dari pekerja. Justru banyak perusahaan yang mengatakan mau seperti itu, seperti kami karena mereka tinggal terima jadi petugas yang berhasil kami bentuk. Mereka tidak punya risiko dengan petugas kami.
Dengan sistem itu, dari sisi pekerja, kalau pun suatu saat dia dipecat, dia sudah tidak bekerja lagi karena kontraknya habis, proyeknya selesai, dia sudah punya kompensasi bahwa kalau dia sakit, dia punya BPJS. Kalau pindah kerja, BPJS-nya isa diteruskan dan tidak ada tuntutan kepada petugas. Nah, setelah kami jelaskan, justru banyak yang mau kok.
Bahkan, kami sudah pernah bicara pada serikat pekerja, kami jelaskan apa yang kami lakukan, dan mereka juga merasa kalau semua perusahaan melakukan hal yang sama, mereka tidak perlu demo menuntut sistem
outsourcing lagi.
Poinnya, semua perusahaan (penyedia layanan terpadu semacam ISS Indonesia) harus ikut menata ulang sistem
outsourcing itu sendiri. Jadi, sistemnya tidak salah, ketentuan gaji yang harus diperbaiki, kebijakan tunjangan dan jenjang karir tidak boleh dikesampingkan.
Tapi ada potensi bahwa perusahaan-perusahaan lain bisa menata ulang sistem outsourcing ini?Sebenarnya ada tapi saat ini ada banyak sekali pemain. Untuk fasilitas pelayanan seperti ISS saja, ada sekitar 700 perusahaan yang melakukan bisnis yang sama. Kalau dibandingkan dengan kami yang bekerja dengan jumlah petugas mencapai 62 ribu orang, pangsa pasar kami saja masih di bawah 5 persen.
Jadi, kami tidak bisa sendiri untuk menata ulang sistem
outsourcing ini. Tapi perusahaan lain juga tidak sedikit, meski mereka punya jumlah petugas yang lebih rendah, sekitar lima ribu sampai 10 ribu petugas per perusahaan. Tapi dengan jumlah perusahaan yang banyak, mereka berpengaruh. Jadi, harus bersamaan dan sebenarnya bisa.
Harapan dan langkah ke depan?Target kami di tahun 2020 mendatang, kami punya 100 ribu pekerja, yang bisa dibilang sistemnya
outsourcing tapi dengan sistem
outsourcing yang berbeda, yang sudah ditata oleh ISS Indonesia.
Tujuan kami, selama tingkat pengangguran di Indonesia masih tinggi maka tetap akan ada kesempatan untuk kami mencetak lapangan kerja untuk warga negara Indonesia dan
outsourcing bukan suatu kesalahan, asal bisa ditata sistemnya dan justru tidak membuat rugi pekerja.
(gir)