Jakarta, CNN Indonesia -- Pengusaha China mengaku gerah dengan penindakan tenaga kerja asal negaranya yang kerap disebut ilegal. Timbulnya permasalahan itu dinilai bukan murni disebabkan kesalahan penanam modal.
Sekretaris Jenderal China Chamber of Commerce in Indonesia (CCIC) Liu Cheng mengatakan, munculnya isu tenaga kerja ilegal adalah kesalahpahaman yang disebabkan karena perizinan.
Menurutnya, selama ini izin tenaga kerja yang diberikan oleh Kementerian Ketenagarjaan (Kemenaker) untuk level manajer ke bawah hanya berlaku enam bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika ingin memperpanjang izin, maka pekerja harus registrasi ulang dan itu membutuhkan waktu sekitar dua bulan. Jika hal ini berulang terus menerus, maka biaya operasional perusahaan bisa bengkak.
Selain itu, tenaga kerja harus pulang dulu ke negara asalnya sebelum memperpanjang izinnya. Tetapi di sisi lain, investor ingin agar penanaman modalnya di Indonesia bisa cepat tuntas.
"Permohonan izin kerja sementara sangat rumit dan makan waktu dua bulan, padahal izin hanya berlaku enam bulan. Akhirnya, sejumlah teknisi asal China di lapangan selalu dituduh sebagai tenaga kerja ilegal," ujar Liu di Hotel Borobudur, Senin (17/7).
Tak hanya itu, kesalahpahaman juga terjadi di pemegang visa. Ia mengakui, memang banyak pekerja asal China yang memegang visa kunjungan dengan indeks Visa 211 dan 212.
Namun, kedatangan mereka hanya untuk kepentingan bisnis dan bukan bekerja di Indonesia. Tapi sayangnya, golongan pemegang visa ini kerap terciduk pihak imigrasi.
"Hal ini menyulitkan kami dalam mendefinisikan perbedaan kegiatan bekerja dan kegiatan bisnis. Ada beberapa keadaan di mana pemegang visa 211 kena inspeksi di lapangan kerja," tuturnya.
Padahal menurutnya, investor China sama sekali tak memiliki niatan untuk membawa tenaga kerja China dalam jumlah berjibun. Liu mengatakan, pengiriman tenaga kerja ke Indonesia disebabkan karena minimnya teknisi lokal yang kompeten.
Jika investor mau meningkatkan kompetensi tenaga kerja lokal, maka perusahaan perlu mendidik Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dalam waktu tiga hingga empat tahun. Kalau kebijakan itu ditempuh, maka perusahaan harus merogoh biaya pengembangan SDM lagi.
"Dalam proses kerja sama investasi, Indonesia sangat banyak kekurangan ahli pekerjaan di lowongan tertentu. Sehingga dalam hal ini, perusshaan China tidak pernah bermotif merekrut banyak pekerja asing untuk proyek di Indonesia," sebut Liu.
Ia melanjutkan, perusahaan China tentu saja akan menggunakan tenaga kerja asal Indonesia karena dianggap lebih kompetitif dibanding pekerja asal negara tirai bambu itu.
Sebagai buktinya, menurut data Bank Dunia, pendapatan per kapita China saat ini sudah mencapai US$8.123,2 atau lebih tinggi dibanding Indonesia yang hanya US$3.570,3.
Bahkan, melihat hal itu, perusahaan China secara sukarela akan mengurangi pekerja asing dan meningkatkan proporsi pekerja lokal bagi proyeknya di Indonesia.
"Menurut teori ekonomi, perusahan asal China sama sekali tidak bermotif mendatangkan pekerjaan asing asal tiongkok untuk kelakukan pekerjaan sederhana karena biaya bekerja TKA maupun tenaga lokal juga berbeda. Perekrutan tenaga kerja Indonesia adalah yang paling ideal bagi perusahaan China," jelasnya.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah TKA di Indonesia tahun 2016 mencapai 74.813 orang. Adapun, sebagian besar tenaga kerja ini didominasi tenaga asal China sebanyak 21.271 orang, atau sebanyak 28,43 persen dari total TKA.
(gir)