Jakarta, CNN Indonesia -- Perbankan diminta untuk mengganti mekanisme pembiayaan usaha agar keinginan Presiden Joko Widodo untuk membentuk korporasi tani bisa terbentuk. Sebab, mekanisme saat ini tidak memudahkan petani kecil untuk mendapatkan akses pinjaman perbankan.
Ketua Koperasi Arrahmah Luwarso mengatakan, saat ini perbankan masih emoh untuk memberikan pinjaman tanpa agunan bagi petani yang baru memulai usahanya. Koperasi Arrahmah, yang merupakan percontohan Jokowi untuk korporasi tani.
Padahal, lanjut Luwarso, pinjaman tanpa agunan ini diperlukan kumpulan petani agar bisa berinvestasi peralatan demi mendukung korporasi tani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sehingga menurutnya, perbankan harus membedakan dua skema pinjaman, yakni untuk usaha baru dan juga untuk usaha yang sudah ada (
existing).
"Dengan skema yang ada harus ada perubahan. Misalnya ketentuan
non-collateral, bagaimana untuk perusahaan baru? Padahal kan alat mesin butuh investasi," ujar Luwarso ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (12/9).
Selain itu, hal lain yang perlu diubah adalah mekanisme yang harus dilalui petani jika ingin mengajukan kredit kembali. Untuk kondisi saat ini, petani harus menunggu masa panen untuk melunasi kreditnya sebelum bisa mendapatkan pinjaman lagi.
Tapi menurut Luwarso, bank seharusnya memberikan masa tenggang (
grace period) bagi petani untuk melunasi kreditnya pasca panen. Di dalam
grace period tersebut, perbankan bisa kembali memberikan pinjaman tanpa harus menunggu kredit petani sebelumnya lunas.
"Pinjaman kembali ini kan bisa digunakan petani untuk mempersiapkan benih terlebih dahulu. Apalagi, tidak semua petani dapat uang setiap bulan. Skema pembiayaan kembali itu bisa dilakukan, asal petani juga yakin bahwa hasil panen ke depan juga baik," ungkapnya.
Meski demikian, ia tak mengeluhkan ihwal bunga kredit perbankan. Menurut Luwarso, bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) bersubsidi saat ini sebesar 9 persen sudah cukup membantu.
"Cuma jangan disuruh cicil tiap bulan saja. Saya sampaikan saja bahwa mekanisme pembiayaan saat ini tidak sesuai agribisnis, apalagi saat ini Indonesia belum punya bank pertanian," jelasnya.
Di sisi lain, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menuturkan, skema pembiayaan bagi korporasi tani tentu akan dievaluasi. Adapun, mekanisme pembiayaan yang aman tentunya harus melibatkan jumlah petani yang banyak agar tercipta efisiensi dalam investasi.
Untuk skema paling efisien, menurutnya setiap 5 hektare lahan bisa digarap oleh 5 ribu petani. Namun, kondisi ini pun tergantung kondisi tanah di masing-masing desa.
Tak hanya itu, jumlah produk dan potensi pasarnya sendiri juga harus menjanjikan. Dengan demikian, perbankan juga tidak perlu khawatir dalam memberikan kredit ke korporasi tani.
"Kalau
size-nya besar, tidak masalah pembiayaan akan siap. Apalagi ini lebih secure karena ada pendampingan nanti dari pemerintah," paparnya.
Sebelumnya, Jokowi menginginkan adanya sistem korporasi petani, yakni sebuah sistem di mana petani kecil dikumpulkan untuk membentuk satu mekanisme agribisnis dari hulu ke hilir. Menurutnya, sistem ini diberlakukan untuk memberikan nilai tambah yang besar bagi hasil pertanian Indonesia.
Ia mengatakan, selama ini paradigma tani Indonesia selalu berkutat di budidaya, yakni hanya menggarap benih dan menjual hasil pertaniannya. Maka dari itu, tak heran jika petani selalu menggantungkan pendapatannya dari Nilai Tukar Petani (NTP).
Namun, jika petani mau masuk ke sektor hilir, tentu itu akan menciptakan keuntungan berkali lipat dibanding hanya sekadar budidaya saja.
"Mari ajak petani berkumpul dalam kelompok tani. Membuat kelompok besar petani harus berpikir dengan aplikasi modern dengan industri dan sekaligus memasarkannya ke industri ritel dengan cara
online store dan manajemen yang baik, inilah yang menguntungkan petani," ujar Jokowi