Bank Dunia Catat Indikator Pembayaran Pajak Indonesia Turun

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Rabu, 01 Nov 2017 13:48 WIB
Dalam laporan Bank Dunia, peringkat Indonesia untuk indikator pembayaran pajak turun menjadi 114, dari capaian tahun lalu di 104.
Dalam laporan Bank Dunia, peringkat Indonesia untuk indikator pembayaran pajak turun menjadi 114, dari capaian tahun lalu di 104. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Dunia telah merilis laporan Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business/ EoDB) 2018. Dalam laporan itu, peringkat Indonesia untuk indikator pembayaran pajak turun menjadi 114 dari capaian tahun lalu di 104 .

Dari sisi perolehan nilai, tim penilai Bank Dunia juga menurunkan skor Indonesia yaitu dari 69,25 menjadi 68,04.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengungkapkan, upaya perbaikan indikator pembayaran pajak sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Setidaknya ada dua upaya perbaikan yang telah diakui oleh tim penilai yaitu percepatan waktu pembayaran dan pelaporan pajak yaitu dari 221 jam per tahun menjadi 207,5 jam per tahun.

Kemudian, tim penilai juga melihat upaya pemerintah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) pengalihan tanah dan bangunan dari 5 persen menjadi 2,5 persen.

Kendati demikian, upaya itu belum cukup untuk mendongkrak skor dan peringkat Indonesia pada indikator pembayaran pajak.

Mardiasmo memamparkan, ada empat faktor yang dinilai dalam indikator pembayaran pajak yaitu jumlah pembayaran pajak per tahun terutama yang didukung oleh pelaporan secara elektronik (e-filing), waktu untuk pembayaran pajak , tarif pajak, dan indeks pasca pelaporan.

Dari empat indikator itu, Indonesia tertinggal dalam memperbaiki indeks pasca pelaporan yang meliputi restitusi PPN, audit pajak penghasilan perusahaan, dan proses administrasi banding. Tercatat, indeks pasca pelaporan Indonesia turun dari 76,49 menjadi 68,82.

Guna memperbaikinya, otoritas pajak bakal melakukan berbagai upaya mulai dari penambahan petugas pajak, percepatan proses restitusi PPN, pengembangan manajemen risiko serta perbaikan administrasi keberatan dan banding.

"Upaya perbaikan akan terus berjalan, ada tahapan-tahapan yang sedang kita lakukan," ujar Mardiasmo dalam konferensi pers di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (1/11).

Bank Dunia Catat Indikator Pembayaran Pajak Indonesia TurunGedung Direktorat Jenderal Pajak. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Pemanfaatan e-Filling

Kemudian, terkait pemanfaatan pelaporan secara elektronik (e-filing), Indonesia memang belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh wajib pajak. Namun, upaya ini telah memangkas waktu pelaporan.

"Kalau di luar negeri e-filing itu sudah mandatori tetapi kalau di Indonesia kami lakukan secara bertahap," ujarnya.

Menurut Mardiasmo, pemerintah lebih dulu mendorong penggunaan e-filing pada wajib pajak badan besar dan wajib pajak orang pribadi yang menggunakan konsultan.


Alasannya, wajib pajak tersebut dianggap bisa lebih cepat dalam mengimplementasikan sistem tersebut. Namun, ke depan, seluruh wajib pajak diarahkan untuk menggunakan e-filing.

"Untuk mendorong wajib pajak untuk semua harus e-filing itu juga tidak mudah. Kami juga menginginkan secara bertahap karena kalau dipaksa bagi wajib pajak UMKM yang kecil atau wajib pajak yang belum bisa e-filing itu bisa repot," ujarnya.

Selanjutnya, pemerintah juga memiliki pekerja rumah untuk merevisi tarif pajak yang berlaku. Sayangnya, proses revisi tarif pajak harus melalui perubahan undang-undang terkait, sehingga memakan waktu.

Sebagai pengingat, meskipun telah diajukan pada pertengahan tahun lalu, pembahasan rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Perpajakan (KUP) belum juga tuntas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Padahal, KUP merupakan pintu awal bagi pemerintah untuk selanjutnya melakukan revisi UU PPh dan UU PPN.

Penambahan SDM

Secara terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menyatakan penambahan sumber daya manusia di otoritas pajak memang diperlukan.

Saat ini, jumlah fungsional pemeriksa DJP hanya sekitar 4.980 orang, padahal jumlah wajib pajak yang lebih dari 16 juta. Akibatnya, proses percepatan restitusi PPN dan pemeriksaan PPh WP Besar menjadi terhambat.

"Dengan load yang sedemikian besar, berimbas juga terhadap kualitas pemeriksaan sehingga meningkatkan jumlah sengketa pajak yang harus diselesaikan pada level keberatan atau banding," ujar pria yang akrab disapa Yoga ini.


Selain itu, menurut Yoga, turunnya peringkat indikator pembayaran pajak Indonesia juga tak lepas dari negara lain yang berhasil melakukan perbaikan lebih cepat dari Indonesia.

"DJP tetap berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan dalam kerangka Reformasi Perpajakan untuk mendukung peningkatan rankig EoDB ke depannya," ujarnya. (gir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER