Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak dunia merosot pada penutupan perdagangan Senin (29/1), waktu Amerika Serikat (AS). Hal itu dipicu oleh penguatan dolar AS dan peningkatan produksi minyak mentah Negeri Paman Sam.
Dilansir dari
Reuters, Selasa (30/1), harga minyak mentah berjangka Brent turun US$1,05 menjadi US$69,45 per barel. Penurunan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1 menjadi US$65,14 per barel.
Kendati demikian, harga Brent bulan ini telah terkerek 6,3 persen, menuju kenaikan tertinggi di bulan Januari sejak 2013.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sepertinya ada sedikit aksi ambil untung hari ini karena pasar saham melemah dan posisi beli (long) terus menambah sisi beli pada persamaan," ujar analis Price Future Group di Chicago.
Harga minyak terdongkrak oleh pelemahan kurs dolar AS dalam enam minggu terakhir. Kurs dolar AS diperkirakan bakal merosot tiga persen untuk bulan ini. Mengingat minyak mentah dihargai dengan dolar AS, pelemahan kurs dolar AS bisa mendongkrak permintaan minyak mentah dari pembeli yang menggunakan mata uang lain.
Index dolar AS telah berada di bawah $90 sejak 24 Januari lalu, Namun, nilai tukar dolar menguat hampir 0,5 persen sejak Jumat (26/1) lalu, menjadi $89,59, yang menekan harga minyak mentah.
Di sisi lain, harga minyak mentah telah ditopang oleh premi besar pada kontrak minyak Brent awal bulan (front-month) dibanding kontrak untuk pengiriman di masa depan. Hal itu tercermin dari investasi pada minyak mentah berjangka dan opsi mencapai rekor tertinggi pekan lalu.
Konsumsi minyak menanjak sebagai imbas dari pertumbuhan ekonomi negara besar. Di saat bersamaan, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia, masih bersepakat untuk memangkas produksi minyak sebesar 1,8 juta barel per hari (bph) sejak Januari 2017.
Senin lalu, Menteri Perminyakan Iraq Issam Abdul Rahim Al-Chalabi di London menyatakan pasar minyak telah membaik. Kemudian, Irak akan mematuhi kesepakatan pemangkasan produksi OPEC meskipun tengah berusaha meningkapan kapasitas ekspor minyaknya.
Sementara, peningkatan produksi minyak AS mampu mengimbangi kesepakatan pemangkasan yang dipimpin OPEC.
"Kami percaya bahwa harga minyak saat ini memproyeksikan gambar yang terlalu berlebihan," ujar Kepala Riset Makro dan Komoditas Norbert Ruecker Julius Baer.
Produksi minyak AS telah melonjak lebih dari 17 persen sejak pertengahan 2016, mencapai 9,88 juta bph pada medio bulan ini. Produksi minyak AS diperkirakan menembuh 10 juta bph dalam waktu dekat.
Dalam laporan Baker Hughes, Perusahaan energi AS menambah 12 rig pengeboran untuk produksi baru pada pekan lalu sehingga jumlahnya menjadi 759 rig.
Artinya, produksi minyak AS saat ini setara dengan negara pengekspor minyak besar di dunia, termasuk pemimpin OPEC, Arab Saudi. Hanya Rusia yang memproduksi lebih banyak dengan rata-rata 10,98 juta bph pada tahun lalu.
(gir)