
Menaker Kaji Perubahan Jam Kerja agar Karyawan Tak Stres
Galih Gumelar, CNN Indonesia | Kamis, 29/03/2018 13:20 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Ketenagakerjaan tengah mengkaji revisi jam kerja bagi pekerja agar lebih fleksibel dibanding saat ini. Kajian baru dimulai awal 2018.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan kajian ini bertujuan untuk menimbang apakah jam kerja sudah cocok bagi proses bisnis saat ini yang serba cepat. Selain itu, dengan jam kerja yang lebih fleksibel, ia berharap pekerja tidak merasa tertekan.
Ia mencontohkan, misalnya ada pegawai restoran yang bekerja di jam-jam sibuk seperti makan siang antara jam 11.00 hingga 13.00. Selepas itu, pekerja restoran bisa mencari pekerjaan lain dengan jam kerja pendek lainnya.
"Jadi, saya sudah menugaskan jajaran saya untuk mengkaji perlu tidaknya reformasi jam kerja dalam mensiasati perubahan pola bisnis yang begitu cepat. Tapi sekali lagi ini kajian, kami belum tahu seberapa perlu kami mereformasi jam kerja. Nanti akan kami lihat," jelas Hanif di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu malam (28/3).
Selain itu, ia berharap jam kerja yang lebih fleksibel juga bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Namun, jika kajian Kemenaker tak menyimpulkan hal tersebut, bisa jadi reformasi jam kerja urung dilakukan.
"Ini tujuannya juga meningkatkan employability. Kesempatan orang untuk bekerja dalam rangka mencari tambahan penghasilan dan segala macam ini bisa lebih mudah. Akan kami lihat apakah reformasi jam kerja bisa meningkatkan kesempatan kerja dalam masyarakat. Kalau memanhg di kajian menemukan itu, maka kesimpulannya jadi perlu atau tidak perlu," papar dia.
Jika perubahan jam kerja dilakukan, ia juga masih melihat implikasinya terhadap peraturan saat ini. Menurutnya, saat ini jam kerja terhitung delapan jam sehari untuk enam hari kerja dan tujuh jam sehari untuk lima hari kerja sesuai pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di samping itu, ia bilang negara-negara maju juga sudah menerapkan jam kerja yang fleksibel dan upah per jam. Ia mencontohkan, Inggris tetap memberlakukan pembayaran gaji secara bulanan. Tapi, basis perhitungannya adalah upah per jam.
Dengan demikian, gaji yang didapat per bulan adalah akumulasi jam kerja selama sebulan dan dikalikan dengan tingkat upah per jamnya. Namun, karena masih kajian, ia tak bisa menyebut jumlah jam kerja yang optimal nantinya.
"Kami saat ini melihat dinamika pasar kerja di mana ada ketimpangan supply demand tenaga kerja yang tak imbang. Lalu ada masalah, jam pekerjaan fleksibel, tapi pekerjaannya ga bisa fleksibel," pungkas dia.
(lav/lav)
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan kajian ini bertujuan untuk menimbang apakah jam kerja sudah cocok bagi proses bisnis saat ini yang serba cepat. Selain itu, dengan jam kerja yang lebih fleksibel, ia berharap pekerja tidak merasa tertekan.
Ia mencontohkan, misalnya ada pegawai restoran yang bekerja di jam-jam sibuk seperti makan siang antara jam 11.00 hingga 13.00. Selepas itu, pekerja restoran bisa mencari pekerjaan lain dengan jam kerja pendek lainnya.
"Jadi, saya sudah menugaskan jajaran saya untuk mengkaji perlu tidaknya reformasi jam kerja dalam mensiasati perubahan pola bisnis yang begitu cepat. Tapi sekali lagi ini kajian, kami belum tahu seberapa perlu kami mereformasi jam kerja. Nanti akan kami lihat," jelas Hanif di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu malam (28/3).
Selain itu, ia berharap jam kerja yang lebih fleksibel juga bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Namun, jika kajian Kemenaker tak menyimpulkan hal tersebut, bisa jadi reformasi jam kerja urung dilakukan.
"Ini tujuannya juga meningkatkan employability. Kesempatan orang untuk bekerja dalam rangka mencari tambahan penghasilan dan segala macam ini bisa lebih mudah. Akan kami lihat apakah reformasi jam kerja bisa meningkatkan kesempatan kerja dalam masyarakat. Kalau memanhg di kajian menemukan itu, maka kesimpulannya jadi perlu atau tidak perlu," papar dia.
Jika perubahan jam kerja dilakukan, ia juga masih melihat implikasinya terhadap peraturan saat ini. Menurutnya, saat ini jam kerja terhitung delapan jam sehari untuk enam hari kerja dan tujuh jam sehari untuk lima hari kerja sesuai pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di samping itu, ia bilang negara-negara maju juga sudah menerapkan jam kerja yang fleksibel dan upah per jam. Ia mencontohkan, Inggris tetap memberlakukan pembayaran gaji secara bulanan. Tapi, basis perhitungannya adalah upah per jam.
Dengan demikian, gaji yang didapat per bulan adalah akumulasi jam kerja selama sebulan dan dikalikan dengan tingkat upah per jamnya. Namun, karena masih kajian, ia tak bisa menyebut jumlah jam kerja yang optimal nantinya.
"Kami saat ini melihat dinamika pasar kerja di mana ada ketimpangan supply demand tenaga kerja yang tak imbang. Lalu ada masalah, jam pekerjaan fleksibel, tapi pekerjaannya ga bisa fleksibel," pungkas dia.
ARTIKEL TERKAIT

Menhub Bidik 500 Ribu Tenaker Perhubungan Kerja di Luar RI
Ekonomi 1 tahun yang lalu
FOTO: Pajak UKM Menurun, Peluang Lapangan Kerja Makin Lebar
Ekonomi 1 tahun yang lalu
GMF Gandeng Sekolah Tinggi Cetak 1.700 Tenaga Kerja
Ekonomi 1 tahun yang lalu
Pemerintah Nilai SDM Indonesia Rentan Disrupsi Ekonomi
Ekonomi 1 tahun yang lalu
FOTO: Berburu Kerja di Jakarta
Ekonomi 1 tahun yang lalu
Jokowi Bakal Serahkan 3 Ribu Sertifikat Kompetensi Magang
Ekonomi 1 tahun yang lalu
BACA JUGA

Eks Menteri Jokowi Masuk Bursa Calon Wali Kota Surabaya
Nasional • 13 November 2019 09:00
Startup Penyalur Tenaga Kerja Workmate Disuntik Rp73 Miliar
Teknologi • 13 November 2019 03:24
Pengumuman Bonus Kejuaraan Dunia Badminton Junior Ditunda
Olahraga • 16 October 2019 00:33
Agenda Hanif Dhakiri Sebagai Plt Kemenpora
Olahraga • 24 September 2019 22:29
TERPOPULER

Gebrakan Erick Thohir Jadi Katalis Positif Bagi Saham BUMN
Ekonomi • 1 jam yang lalu
Harga Minyak RI Melejit ke US$63,26 per Barel pada November
Ekonomi 57 menit yang lalu
Menanti Damai Dagang AS-China, IHSG Diprediksi Menguat
Ekonomi 2 jam yang lalu