Jakarta, CNN Indonesia --
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai sistem
ganjil genap seharusnya hanya bersifat sementara. Hal itu seiring beroperasinya moda angkutan massal di Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengungkapkan secara regulasi, instrumen pengendalian lalu lintas yang telah memiliki dasar hukum yang kuat adalah instrumen jalan berbayar (
Electronic Road Pricing/ERP).
Karenanya, lanjut Tulus, Badan Pengatur Transportasi Jabodetabek (BPTJ) harus mulai merancang dengan serius implementasi jalan berbayar, terutama jika moda Kereta Api Ringan (
Light Rail Transit/LRT) dan
Mass Rapid Transit (MRT) sudah beroperasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tanpa di-
back up oleh instrumen pengendalian lalu lintas di ruas-ruas utama menuju Jakarta, maka LRT/MRT tidak akan laku, minim penumpang. Ora payu, kata orang Jawa," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (13/4).
Tulus mengungkapkan pemerintah cukup memiliki alasan untuk menerapkan sistem ganjil genap di Gerbang Tol (GT) Cibubur 2 ruas tol Jagorawi, GT Kunciran 2 ruas tol Jakarta-Tangerang, dan GT Tangerang 2 ruas tol Jakarta-Tangerang.
Pasalnya, rasio volume kendaraan dan kapasitas (V/C ratio) di ketiga pintu tol telah melampaui 1. Padahal, maksimal V/C ratio pada suatu ruas jalan hanya 0,85 dan idealnya 0,5.
Sebagai catatan, V/C ratio mencerminkan kecepatan kendaraan di suatu ruas jalan. Semakin tinggi V/C ratio, semakin rendah rata-rata kecepatan kendaraan di ruas jalan.
Tingginya V/C rasio membuat kualitas Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada ruas jalan tol berbayar menjadi sangat rendah.
"Ini jelas sangat merugikan konsumen. Seharusnya, jalan tol yang kita bayar harus paralel dengan kualitas pelayanan," imbuh dia.
Bahkan, menurut Tulus, ruas jalan tol yang V/C rationya lebih dari satu seharusnya tidak bisa dinaikkan tarifnya. Kalau perlu, tarif tol di ruas jalan terkait diturunkan.
Selanjutnya, Tulus kembali mengingatkan bahwa sistem ganjil genap harus diimbangi dengan kompensasi angkutan umum yang memadai. Dengan demikian, sistem ganjil genap tidak merugikan konsumen karena konsumen memiliki alternatif sarana transportasi untuk bepergian.
Lebih lanjut, Tulus juga meminta aparat kepolisian untuk mengawasi jalannya paket kebijakan di jalan tol. Misalnya, kepolisian harus memberikan sanksi jika ada truk yang berjalan di jalur kanan atau tengah yang kecepatannya di bawah kecepatan minimal yaitu 60 kilometer per jam.
"Kendati jumlah truk tidak signifikan, namun karena pergerakannya di bawah rata-rata, maka truk mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang signifikan," pungkasnya.
Sebagai informasi, penerapan sistem ganjil genap di ruas tol Jagorawi dan Jakarta-Tangerang bakal diuji coba pada 16 April 2018 dan berlaku sepenuhnya pada awal Mei 2018.
(bir)