Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia punya trauma sendiri pada pelemahan nilai tukar
rupiah. Tahun 1998, pelemahan nilai tukar menyeret Indonesia pada krisis ekonomi dan berujung pada krisis politik. Krisis Asia saat itu menjadi penyebabnya.
Kala itu,
Bank Indonesia tak lagi mampu menerapkan sistem kurs mengambang terkendali karena hantaman global terhadap rupiah. Sistem kurs pun diubah menjadi mengambang bebas. Rupiah lalu anjlok bertahap dari kisaran Rp2 ribu per dolar AS hingga sempat menyentuh level tertingginya di kisaran Rp17 ribu per dolar AS.
Sejak krisis 1998, sektor keuangan pun berbenah. Namun, cerita rupiah melemah tak berakhir di situ.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rupiah melemah hingga di atas Rp14 ribu per dolar AS sebenarnya juga sempat terjadi pada 2015 lalu. Saat itu, rupiah mencapai titik terendahnya Rp14.693 per dolar AS dan menjadi salah satu mata uang yang paling tepar.
Bank Indonesia dan pemerintah kemudian menganalisis penyebabnya. Bukan hanya sentimen global, fundamental ekonomi menjadi biang keladi.
Pemerintah pun sibuk berbenah dan menekankan akan melakukan reformasi struktural.
Pelemahan rupiah kembali terjadi sejak Februari 2018 lalu. Rupiah bahkan sudah menyentuh level Rp14 ribu per dolar AS sejak Senin (7/5). Pada perdagangan hari ini, Rabu (9/5), rupiah masih melemah 32 poin atau 0,23 persen ke level Rp14.084 per dolar AS.
Bukan tanpa usaha, Bank Indonesia sebenarnya sudah berusaha menjaga stabilitas nilai tukar dengan menggelontorkan devisa. Alhasil, cadangan devisa per April 2018 tercatat US$124,9 miliar atau turun sekitar US$ 7 miliar jika dibanding posisi Januari 2018 yang masih mencapai US$131,98 miliar.
Pengamat Ekonomi Fuad Bawazier menilai selain sentimen global, kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini juga tak sepenuhnya baik. Masih banyak 'bolong' pada perekonomian Indonesia yang membuat rupiah gampang tersungkur saat dolar AS tengah perkasa.
"Tanpa intervensi BI mungkin sudah lebih jelek lagi (rupiah) karena ada faktor luar dan dalam. Saya terus terang tidak sependapat dengan anggapan fundamental ekonomi kita yang kuat," ujar Fuad di Jakarta, Rabu (9/5).
Saat ini, menurut dia, eskpor unggulan yang dapat menjadi pemasukan bagi devisa tak lagi ada. Neraca perdagangan juga belakangan terus mencatatkan defisit.
Berdasarkan catatan BPS, neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2018 tercatat mulai surplus US$1,1 miliar, setelah sebelumnya mengalami defisit tiga bulan berturut-turut. Pada Desember 2017, defisit perdagangan mencapai US$270 juta, Januari 2018 sebesar US$679,8 juta, dan Februari 2018 sebesar US$120 juta.
"Impor saat ini kebanyakan barang konsumsi. Teori lama, impor besar karena bahan baku akan dorong perekonomian, nyanyian lama dan sudah tak berlaku saat ini," terang dia.
Selain itu, menurut dia, ada pula kekawatiran besarnya beban utang yang harus ditutupi dengan utang baru akibat penerimaan pajak yang belum bagus.
Fuad pun pesimis rupiah bisa kembali ke level di bawah Rp14 ribu dalam waktu dekat. Pasalnya, BI tak bisa terus-terusan mengandalkan cadangan devisa (cadev).
"Kecuali ada intervensi besar-besaran (rupiah kembali di bawah Rp14 ribu). Tapi khawatir juga nanti cadev habis," terang dia.
 Pada perdagangan hari ini, nilai tukar rupiah ditutup di level Rp14.084 per dolar AS. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Andalkan Investasi AsingIndonesia saat ini memang masih sangat mengandalkan investasi asing guna membuat neraca pembayaran positif. Neraca pembayaran yang positif berimbas pada nilai tukar yang menguat, sebaliknya jika negatif, maka rupiah pasti bakal melemah.
Saat itu, neraca pembayaran Indonesia masih dibiayai oleh investasi asing yang masuk, baik investasi langsung maupun investasi portofolio. Pasalnya, transaksi berjalan yang terdiri dari transaksi barang dan jasa mengalami defisit. Tahun lalu, defisit transaksi berjalan mencapai US$17,29 miliar. Penyebabnya, defisit pada pendapatan primer yang mencapai US$32 miliar.
Defisit pendapatan primer antara lain disebabkan besarnya pembayaran bunga dan utang luar negeri, dividen atau keuntungan perusahaan ke luar negeri, hingga pembayaran tenaga kerja asing. Selain itu, pendapatan jasa juga tercatat defisit sekitar US$7 miliar. Hal ini terutama disebabkan masih banyaknya penggunaan kapal asing dalam kegiatan ekspor dan impor.
Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara sebelumnya menyebut Indonesia perlu membangun industri padat karya berorientasi ekspor. Hal ini sudah lebih dulu diwujudkan Thailand dan Vietnam yang kini telah berhasil dan mampu menyelesaikan masalah neraca perdagangan defisit yang pernah menimpa kdua negara tersebut.
Industri berorientasi ekspor, menurut dia, dapat mendatangkan pasokan dolar AS. Hal ini tentu akan membantu stabilitas nilai tukar rupiah.
Dilema Suku BungaFuad memperkirakan, Bank Indonesia pada akhirnya bakal menaikkan suku bunga acuannya. Hal tersebut, menurut dia, hal yang tak bisa lagi dihindari BI.
"Tapi harusnya (bank) tak buru-buru menaikkan bunga kredit, karena selisih bunga deposito dan kredit besar sekali. Jadi perbankan tidak efisien," terang dia.
Kendati bunga perbankan saat ini berada di level yang cukup rendah, nyatanya penyaluran kredit masih lesu. Per Maret 2018, kredit perbankan tumbuh sebesar 8,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu menjadi Rp4.768,9 triliun.
Dana perbankan yang ditempatkan Bank Indonesia pun per Februari 2018 mencapai Rp622 triliun.
Untuk itu, menurut dia, BI sebaiknya memang menaikkan bunga acuan guna menahan rupiah agar tak terus tersungkur. Namun, bank perlu diminta tak menaikkan bunga kredit.
"Kalau bunga kredit naik, nanti malah banyak kredit macet," terang dia.
Pengamat Ekonomi Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi menilai BI harus menaikkan suku bunga acuan danmelakukan intervensi guna memperkecil gejolak nilai tukar rupiah. Kenaikan bunga acuan BI sekitar 25-50 bps dinilai Eric tak akan menganggu pertumbuhan ekonomi di kuaryal kedua.
"Kuartal II ada musimm Ramadan yang bisa mendorong konsumsi. Lagi pula tugas utama BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar," jelas dia.
Saat ini, menurut Eric, penghambat pertumbuhan ekonomi sebenarnya adalah daya beli masyarakat yang melemah. Pelemahan daya beli, akibat melambatnya aktivitas bisnis dan pelemahan harga komoditas.
"Jadi, kuncinya (pertumbuhan ekonomi) ada di sisi fiskal," kata dia.
(agi/lav)