Jakarta, CNN Indonesia -- Terpuruknya
nilai tukar rupiah hingga menyentuh level Rp13.900 per dolar Amerika Serikat (AS) belakangan ini memberi alasan bagi sejumlah pihak untuk mendesak
Bank Indonesia (BI) segera mengerek suku bunga acuan
(7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR).Kenaikan suku bunga BI diharapkan dapat menenangkan rupiah yang bergejolak sejak akhir Februari lalu. Saat itu, rupiah untuk pertama kalinya menyentuh kisaran Rp13.700 per dolar AS dan pada akhir April lalu terus melemah hingga menembus Rp13.900 per dolar AS.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) A. Tony Prasetiantono menilai tingkat suku bunga BI memang sudah mendesak untuk dinaikkan sesegera mungkin. Hal ini lantaran intervensi stabilitas rupiah dengan menggunakan cadangan devisa (cadev) yang selama ini dilakukan BI, tak cukup membuat rupiah kembali bergairah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak Februari, BI telah menggelontorkan cadev untuk menenangkan rupiah. Data BI mencatat, cadev berkurang dari US$131,98 miliar per Januari 2018 menjadi US$128 miliar per Februari 2018. Lalu berkurang lagi menjadi US$126 miliar per Maret 2018. Setelah intervensi itu, rupiah stabil di kisaran Rp13.700 per dolar AS.
"Menurut saya, suku bunga harus dinaikkan secepatnya. Kalau tidak BI akan 'capek' melakukan intervensi yang akan menggerus cadev. Sekarang ini kan cuma mengandalkan intervensi (cadev), itu tidak cukup. Jangan biarkan ini berlarut-larut," ujar Tony kepada CNNIndonesia.com, dikutip Jumat (4/5).
Menurutnya, depresiasi rupiah memang sudah seharusnya diatasi dengan kenaikan suku bunga, setidaknya sebesar 25 basis poin (bps). Meski demikian, Tony mengaku dampaknya akan terbilang minim. Nilai tukar rupiah diperkirakan tetap sulit kembali ke posisi di awal tahun yang sempat berada di rentang Rp13.300-13.500 per dolar AS.
"Sebenarnya 25 bps terlalu kecil, mestinya 50 bps. Namun, jika langsung dinaikkan 50 bps, saya khawatir bisa menimbulkan kepanikan. Jadi untuk menjaga sentimen, sebaiknya 25 bps saja dulu," terangnya.
Tony mengaku belum bisa memproyeksi pergerakan BI 7DRRR ke depan. Pasalnya, penyesuaian suku bunga juga perlu melihat kondisi ekonomi ke depan. Salah satunya, rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (
Fed Fund Rate/FFR) sebanyak tiga kali pada tahun ini.
"Tapi saya belum yakin The Fed menaikkan FFR sampai berkali-kali, seperti ekspektasi pasar. Soalnya, dolar AS yang terlalu kuat, juga berdampak negatif bagi neraca perdagangan AS. Jerome Powel (Gubernur The Fed) mestinya mikir-mikir lagi soal ini," katanya.
Berbeda dengan Tony, Ekonom dari Bank Permata Josua Pardede melihat bahwa bank Indonesia belum perlu mengerek suku bunga dalam waktu dekat hanya untuk menenangkan rupiah. Pasalnya, pelemahan rupiah diperkirakan hanya bersifat sementara karena sentimen global dan faktor musiman, seperti pembayaran dividen dan lainnya.
Namun, bila sentimen global mereda dan faktor musiman itu berakhir, posisi rupiah bisa bergerak ke arah penguatan. Setidaknya ia memperkirakan, rupiah masih punya potensi menguat pada semester II mendatang.
"Dalam jangka pendek rasanya belum ada urgensi BI untuk menaikkan suku bunga acuannya, karena dari fundamental ekonomi pun masih cukup mendukung. Saya rasa, BI masih akan berhati-hati dan memperhitungkan pelemahan yang temporer ini," tuturnya.
Selain itu, ia melihat, kenaikan suku bunga acuan sebenarnya tak serta merta ampuh menstabilkan nilai tukar rupiah. Ia mencontohkan, misalnya yang terjadi di Argentina benerapa waktu terakhir.
"Bank sentral Argentina menaikkan suku bunga, tapi mata uangnya tidak menguat juga. Jadi kenaikan suku bunga tidak otomatis bisa menstabilkan nilai tukar, ada faktor fundamental ekonomi yang tetap perlu dilihat," jelasnya.
Menurut Josua, untuk jangka pendek, langkah intervensi dengan menggunakan cadev memang masih cukup ampuh menahan pelemahan rupiah. Meski, berdampak pada menipisnya cadev.
"Karena memang
first line of defense (garis pertahanan pertama) BI memang pada stabilitas rupiah dengan menggunakan cadev," katanya.
Hingga akhir tahun ini, Josua melihat tingkat suku bunga acuan BI masih akan bertahan, sekalipun rupiah bergoncang lagi. Ia menilai potensi kenaikan baru terjadi pada tahun depan, ketika terjadi penyesuaian tingkat inflasi tahunan pemerintah.
Efek SampingIbarat minum obat, bila suku bunga acuan BI dinaikkan, biasanya akan menimbulkan efek samping berupa kenaikan tingkat suku bunga simpanan (deposito) dan kredit mereka. Pasalnya, perbankan biasanya merespon lebih cepat bila ada penyesuaian 7DRRR ke atas.
Namun, menurut Tony itu bisa tidak terjadi ketika BI mengerek suku bunga acuannya saat ini. Sebab, menurutnya, ada faktor yang bisa menahan 'nafsu' bank untuk mengerek suku bunga kreditnya, yaitu pertumbuhan kredit yang masih relatif lemah.
Tercatat, pertumbuhan kredit hingga Maret 2018 berada di angka 8,54 persen secara tahunan
(year-on-year/yoy). Angka ini memang masih jauh bila melihat target pertumbuhan kredit berdasarkan Rencana Bisnis Bank (RBB) sebesar 12,23 persen.
"Saya pikir tidak elastis. Permintaan kredit lemah, sehingga bank tidak perlu menaikkan suku bunga kredit," katanya.
Namun, untuk tingkat suku bunga deposito, Tony melihat perlu untuk dinaikkan. Hal ini agar pemilik dana besar di bank tidak tergoda untuk memindahkan depositonya ke tempat lain, misalnya untuk membeli valuta asing (valas).
(lav/agi)